Lebih dari 28 juta rekening dormant telah dibuka kembali, sebagaimana pernyataan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK. Sebelumnya, terdapat 31 juta rekening semacam itu yang diblokir. Total dana yang terakumulasi dalam rekening-rekening tersebut adalah Rp6 triliun. Rekening dormant merupakan rekening yang tidak mempunyai aktivitas dalam periode tertentu.
Menurut PPATK, alasan pemblokiran adalah mencegah penyalahgunaan rekening menganggur untuk aktivitas kejahatan. Lembaga tersebut mengungkapkan bahwa selama 5 tahun rekening dormant sering menjadi sasaran tindak kejahatan.Â
Lebih dari 1 juta rekening sudah dianalisis karena terindikasi terkait dengan tindakan pidana. Dari jumlah tersebut, 150 ribu rekening diketahui merupakan rekening yang dibuka atas nama seseorang tetapi digunakan oleh orang lain, yang diperoleh dari jual beli rekening dan peretasan. Pada 2024 terdapat 28 ribu rekening yang berasal dari jual beli rekening yang digunakan untuk deposit perjudian online.
Tindakan PPATK spontan menuai reaksi masyarakat sebagai nasabah, mereka mengungkapkan keberatannya. Meskipun demikian, apresiasi tetap perlu diberikan kepada PPATK, yang telah melakukan terobosan dalam pemberantasan kejahatan menggunakan rekening. Â
Mengenai Pencegahan Kejahatan
Transaksi keuangan merupakan urat nadi kejahatan, terutama pencucian uang. Untuk itu, pencegahannya mesti terus dilakukan. Mengenai tindakan pemblokiran, secara undang-undang memang diperbolehkan. Namun, untuk tetap menjaga ketenangan dan kenyamanan masyarakat, perlu kiranya tindakan itu dilakukan dengan kehati-hatian tinggi.
Upaya pencegahan kejahatan pencucian uang dapat dilakukan melalui penundaan transaksi, penghentian sementara, dan pemblokiran harta kekayaan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Penundaan transaksi dilakukan oleh penyedia jasa keuangan paling lama 5 hari kerja. Langkah itu dilakukan apabila pengguna jasa patut diduga melakukan transaksi atau menampung harta kekayaan yang patut diduga berasal dari tindak pidana, atau menggunakan dokumen palsu. Â
Lalu, penghentian sementara dilakukan penyedia jasa keuangan atas dasar permintaan PPATK atau perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim, paling lama 20 hari kerja. Penghentian sementara dilakukan pada sebagian atau seluruh transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana.
Terakhir, pemblokiran harta kekayaan dilakukan oleh penyedia jasa keuangan atau penyedia barang/jasa atas perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim, paling lama 30 hari kerja. Pemblokiran dilakukan pada harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana.
Tepatkah Tindakan PPATK?
Dari ketiga bentuk pencegahan itu, apa yang dilakukan PPATK baru-baru ini termasuk jenis penghentian sementara, bukan pemblokiran. Tindakan tersebut dapat dilakukan ketika terdapat indikasi awal tindak pidana, kebutuhan informasi untuk memperjelas indikasi tindak pidana, sanksi terkait terorisme, dan/atau informasi lain yang diterima PPATK. Sayangnya, dari keempat kondisi itu, tidak terdapat kejelasan apa yang mendasari tindakan PPATK.
Dalam penjelasannya, PPATK melakukan penghentian sementara karena adanya rekening dormant yang potensial disalahgunakan. Alasan itu tidak sepenuhnya tepat karena banyak hal yang melatarbelakangi munculnya rekening dormant. Bisa jadi rekening tersebut sengaja tidak digunakan karena ditujukan untuk dana darurat, untuk rencana masa depan, dan alasan lainnya yang tidak diniatkan untuk kejahatan.
Selain itu, parameter suatu rekening dapat dihentikan sementara, menurut ketentuan, adalah adanya pemicu yang terkait dengan tindak pidana. Mengeneralisasi semua rekening dormant, tanpa mempertimbangkan ada tidaknya indikasi kejahatan, oleh karenanya tidaklah tepat.
Yang terpenting, status rekening dormant saja tidak cukup menjadi alasan penghentian sementara. Sulit mencari dasar hukum yang eksplisit yang bisa membenarkan hal itu.
Tanggung Jawab Bank
Apabila dikaitkan isu adanya penyalahgunaan rekening dormant untuk aktivitas pidana, maka perlu ditelusuri alurnya. Jual beli rekening atau penggunaan rekening menganggur oleh pihak lain, pastinya terjadi karena adanya pihak tertentu yang bisa mengakses data yang tersimpan di penyedia jasa keuangan, khususnya bank.
Ada sekian kemungkinan pelakunya, tentu bisa pemilik rekening sendiri, atau pihak lain yakni peretas siber atau oknum karyawan bank. Jika pihak lain pelakunya, maka sudah pasti menjadi tanggung jawab bank. Bagaimana kekuatan pengamanan siber di bank atau keketatan pengawasan terhadap aktivitas karyawannya?
Jika melihat hubungan dasar antara bank dengan nasabah, bank merupakan bisnis kepercayaan. Maksudnya, nasabah menaruh kepercayaan kepada bank untuk menyimpan dan mengamankan dananya. Selanjutnya, hak nasabah akan memperlakukan rekeningnya, akan diaktifkan untuk transaksi atau sekedar untuk mendiamkan uangnya. Yang terpenting, nasabah tidak menggunakan rekeningnya untuk kejahatan dan menerima konsekuensi biaya administrasi. Â
Bank, sebagai garda terdepan mengidentifikasi transaksi mencurigakan, sudah selayaknya dapat membaca profil transaksi nasabahnya. Dengan demikian, ketika akan melakukan tindakan terhadap suatu rekening, maka tetap haru didasarkan pada profil nasabah tersebut. Jika terdapat rekening menganggur namun tidak ada indikasi penyalahgunaan, maka bank tetap berkewajiban menjaga rekening tersebut, menjamin transaksi dapat dilakukan sewaktu-waktu.
Kemudian, bila menggunakan alasan tidak adanya pembaharuan informasi atas suatu rekening, seberapa tinggi upaya bank meminta pembaruan data nasabahnya. Tentunya industri perbankan telah menyadari bahwa umumnya nasabah enggan secara proaktif memperbaharui datanya. Namun, seharusnya kecenderungan itu tidak dimanfaatkan bank untuk menyalahkan nasabah, sekaligus menutupi sisi lemah bank yang pasif mengupayakan pembaharuan data.
Sekali lagi, bank bertanggung jawab menjaga rekening nasabah. Jika kemudian rekening itu disalahgunakan pihak lain tanpa keterlibatan nasabah, sudah selayaknya bank melakukan evaluasi terhadap kualitas layanannya. Â
Potensi Merugikan Nasabah
Penghentian sementara transaksi berpotensi merugikan nasabah. Ilustrasinya, nasabah mendadak membutuhkan penarikan dana untuk membeli obat di rekening darurat yang sengaja jarang digunakan. Dikarenakan pihak bank menutup akses transaksi pada rekening tersebut, maka nasabah tersebut gagal melakukan penarikan. Dampaknya bisa berbuntut panjang.
Dalam praktiknya, banyak nasabah yang tidak mengetahui rekeningnya dimatikan sementara. Bisa jadi, hal itu dikarenakan tidak ada pemberitahuan atau notifikasi dari bank atau PPATK. Kondisi demikian tentu berpotensi merugikan nasabah yang beritikad baik. Â Â Â Â Â Â Â
Bagaimanapun, kepercayaan nasabah kepada bank merupakan pilar utama yang mengokohkan sistem keuangan. Kepercayaan itu terbentuk jika nasabah merasa nyaman menggunakan jasa bank.Â
Pengambilan langkah menghentikan sementara transaksi, sebelum unsur-unsur yang dipersyaratkan dalam undang-undang terpenuhi, bisa menjelma menjadi tindakan gegabah. Maksud mulia mencegah kejahatan, malah menimbulkan kegelisahan yang dapat menggerus kepercayaan.Â
Ke depan, kita tetap berharap, tindakan cepat mencegah kejahatan melalui transaksi keuangan tetap diterapkan. Akan tetapi, tindakan tersebut tetap harus bergerak dalam koridor aturan yang berlaku.Â
Jangan sampai, yang bersih pun ikut risih...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI