Kudus, kota keretek. Ternyata menyimpan potensi wisata yang cukup menarik minat kita untuk berkunjung ke Kudus. Berbekal nekat dan browsing informasi sebelumnya, kami sekeluarga akhirnya memutuskan mengisi liburan sekolah dengan berkunjung ke Kudus. Meski demikian harus kami akui, hingga menginjakkan kaki di Stasiun Tawang, Semarang, kami masih ragu-ragu untuk berwisata ke Kudus karena membawa rombongan tiga bocah bukan perkara yang sepele. Alasannya sederhana saja, nge-bolang naik bis bukan hal yang menyenangkan bagi anak jaman sekarang.
Untungnya setelah bertanya di Satpam yang menjaga tepat di pintu keluar Stasiun, kami mendapatkan informasi ada ELF damri yang langsung ke Kudus. Biaya naik Damri ke Kudus Rp.40.000,-/orang. Pengemudinya sangat nyaman mengemudikan ELF-nya dan cepat sampai. Sayangnya damri ini hanya berhenti di SPBU yang ada di jalur menuju ke kota Pati. Mau tidak mau kami harus nego karena ketiga putri kami masih separuh sadar dari tidurnya, agar bersedia untuk mengantar lebih dekat lagi dengan hotel tempat kami berencana menginap. Hotel tersebut sebelumnya sudah kami pesan lewat situs online TRAVELO*A. Karena hanya semalam di Kudus akhirnya kami memutuskan untuk memilih tempat wisata yang "wajib" saja di Kudus yaitu: Menara Kudus, Museum Kretek, dan Situs Purbakala Patiayam yang letaknya agak jauh di luar kota Kudus.
Ada sejumlah catatan sekaligus kritik terhadap sejumlah kekurangan yang kurang mendukung perkembangan wisata di Kudus: pertama adalah kurang jujurnya pengemudi taksi dan becak. Untuk becak masih relatif lebih "ramah" karena tidak terlalu "memukul mahal" bila dibanding dengan pengemudi taksi ABA*I yang sempat mengantarkan kami. Agak kesal karena pengemudi memutar-mutarkan kami, padahal sempat saya tegur karena misalnya untuk ke Menara Kudus cukup dekat tapi malah diputar-putar dulu. Saya pun hanya tersenyum dan menolak ketika pengemudi menawarkan diri untuk menjemput. Agak repot memang jika tidak membawa mobil sendiri untuk berwisata ke Kudus. Namun belajar dari pengalaman saya sendiri, tak perlu menyewa kendaraan - cukup dengan mencarter taksi - jauh lebih murah. Sebagai perbandingan sewa mobil dari Semarang selama satu hari Rp.800.000,- dari pagi hingga malam hari. Sedang jika carter taksi di Kudus cukup mutar-mutar selama sesiangan Rp.200.000,- kurang lebih dan untuk perjalanan Kudus-Semarang Rp.280.000,-
Setelah merasakan pengalaman kurang menyenangkan karena diputar-putarkan, akhirnya pilihan kami jatuhkan untuk mencoba taksi lainnya yaitu PURI KEN***** Uniknya ada dua pengemudi yang menawarkan diri sekaligus buat mengantar. Akhirnya kami pilih untuk membagi jatah bagi kedua pengemudi tersebut. Cukup puas kami dengan layanan taksi kedua. Selain armadanya bagus, pengemudinya jauh lebih sopan dan jujur. Kejujuran pengemudi saat mengantarkan adalah rejeki bagi wisatawan dan pengemudi itu sendiri. Kami pun mengulang perjalanan yang belum memuaskan gara-gara pengemudi yang memutar-mutarkan kami. Perjalanan kami mulai dari Menara Kudus (lagi), museum Kretek, dan ke Situs Purbakala Patiayam, dan lanjut makan siang di garang asem dan soto kudus. Sayang Soto Pak Denuh masih tutup. Namun kekecewaan kami terobati dengan nikmatnya makan soto Kudus, Garang Asem, Opor ayam di RM. Sari Rasa.
Menara Kudus, Masjid Al Manar sekaligus makam Sunan Kudus merupakan salah satu obyek wisata wajib di Kudus. Masjid kuno ini mempunyai gapura tumpukan batu merah berundak. Yang menggambarkan khas bangunan pura, rumah suci umat Hindu. Di bangunan masjdi terdapat tiga buah gapura. Di atas pintu gapura pertama dan kedua itu ada ukiran kayu. Ukiran itu bertuliskan bahasa Jawa dengan huruf Arab (rajah). Tulisan itu jika diterjemahkan berbunyi “pintu ini dibuat pada zaman pemerintahan Aryo Paninggaran.”Masjid Al Manar sangat nyaman untuk tempat kita menunaikan sholat lima waktu di tengah teriknya sinar mentari. Di lokasi ini juga terdapat juru foto yang siap mengabadikan kita sekeluarga dengan berbiaya Rp.10.000 untuk foto ukuran sedang dan Rp,20.000,- untuk foto yang besar. Sayangnya meski banyak pedagang berjualan disekitar namun tampak dari dagangan yang ditawarkan belum dikelola dengan profesional. Kami justru membeli oleh-oleh khas berupa miniatur menara Kudus Rp.35.000,- ; gantungan kunci dan tempelan magnet dan kaos lengan panjang untuk puteri kami di sebuah ruko penjual oleh-oleh seberang alun-alun Simpang 7 Kudus. Uniknya, tidak semua orang berani melewati lorong gapura. Terutama mereka, para pejabat. Sebab, berkembang mitos jika mereka melewati lorong gapura maka kedudukannya akan goyah. Konon jika ada pejabat yang demikian melewati gerbang, maka runtuhlah jabatannya. Terlebih jika pejabat itu mengenakan seragam dinas. Maka bersiap akan terancam lengser. Tapi tidak untuk kami tentu, karena kami mondar mandir lewat di kedua gapura utama tersebut. Sayangnya Menara Kudus tidak sedang dibuka, sehingga kami masih menyimpan penasaran tentang seperti apa interior didalamnya. Belasan piring antik yang konon menghiasi dinding Menara Kudus konon merupakan keramik asli buatan pabrikan Tiongkok, dan Vietnam di masa silam - pun belum dapat kami saksikan. Demikian pula dengan sumur yang konon ada di bawah Menara Kudus.
Lepas puas berfoto di Menara Kudus, kami langsung ke Museum Kretek. Sebenarnya dari Menara Kudus sebaiknya ke Rumah Khas Kudus yang letaknya tidak jauh dari Menara Kudus. Namun karena tidak ada penawaran dari pengemudi taksi dan kami pun belum mengetahuinya, maka terlewatkan kunjungan ke rumah khas Kudus. Tapi tak mengapa, karena ketiga putri kami sangat menikmati menjelajah pengetahuan tentang sejarah industri kretek di Museum Kretek.
Perjalanan wisata singkat ke Kudus belum lengkap tanpa mengunjungi Situs Purbakala Patiayam. Meski letaknya cukup jauh di luar kota Kudus, namun jangan sampai dilewatkan untuk mengunjungi Situs Purbakala Patiayam. Situs purbakala Pati Ayam terletak di sisi timur Kab. Kudus dan berbatasan dengan Kab. Pati. Tidak sulit menemukan situs pubakala ini.
Dari jalan raya Pantura arah Kudus-Pati, kurang lebih 15 km dari Kota Kudus, terdapat baliho petunjuk arah Situs Purbakala Pati Ayam di kiri jalan. Jarak dari jalan raya hanya 500 meter masuk wilayah desa Terban. Jalan desa ini masih sempit dan kondisinya rusak parah di beberapa ruasnya. Museum cagar budaya situs purbakala Pati Ayam berada di depan balai desa Terban. Ada patung gajah purba raksasa di depan gedung museum yang masih dalam tahap pembangunan.
Dituturkan oleh Mas-mas tersebut bahwa fosil yang dipamerkan di museum tersebut adalah Stegodon trigonochepalus, ditemukan di pegunungan Pati Ayam, Kab. Kudus. Gajah purba ini bisa mencapai ukuran tinggi hingga 4 m dan panjang mencapai 12 m. Gajah Stegodon bahkan lebih besar daripada Mammoth yang ditemukan di daerah sekitar kutup.
Ditemukan pula tulang-tulang panggul, rahang, gigi, dan beberapa tulang lain. Setelah diteliti, tulang-tulang ini adalah tulang gajah purba yang dinamakan Stegodon trigonochepalus. Ukurannya pun diperkirakan sebesar truk tronton yang tingginya bisa mencapai 4 m dan panjang 12 m. Ditemukannya fosil binatang lau dalam jumlah besar menimbulkan dugaan bahwa lembah di pegunungan ini kemungkinan dahulu kala adalah terendan laut. Kemungkinan ada selat yang memisahkan antara Pati Ayam dengan gunung Muria di Kudus. Kami sangat beruntung karena mas-mas yang kami temui mampu memuaskan rasa ingin tahu ketiga putri kami.
Tak hanya itu, meski sempit untuk kategori museum, namun museum purbakala Patiayam memiliki banyak spot untuk berfoto. Sayangnya karena minimnya tempat yang tersedia penjelasan tentang sejarah dari keberadaan museum Patiayam itu sendiri tertutupi oleh model kerangka gajah purba. Situs Patiayam merupakan salah satu situs terlengkap. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya manusia purba (Homo erectus), itulah sebabnya mengapa dipamerkan pula model manusia purba dalam museum Patiayam.
"Tapi Mama lihat sendirikan perhatian pemerintah minus banget untuk arkeologi, "kata si bocah tetap tidak mau kalah. "Nanti deh mama buat tulisan, semoga pemerintah jadi lebih memperhatikan pelestarian benda-benda bersejarah kita dan lebih memperhatikan kesejahteraan arkelog kita jadi kamu dan generasi kamu ga enggan jadi arkeolog lagi," bujuk saya. Begitulah, akhirnya saya memutuskan untuk meluangkan waktu menulis artikel ini melalui Kompasiana. Boro-boro membandingkan dengan Museum Paleontologi Royal Tyrell di Kanada atau the National Museum of Scotland di Edinburgh tempat mamoth berada. Semoga pemerintah lebih memperhatikan kesejateraan dan sekaligus mengugah minat para generasi muda untuk bangga akan kekayaan arkeologi Indonesia dan bersemangat untuk ikut melestarikannya.
Setelah puas menelusuri sejarah purbakala Indonesia di Situs Purbakala Patiayam dan sholat di sebuah masjid yang baru dibangun, kami menuntaskan penasaran kami akan rada garang asem Kudus yang terkenal di RM Sari Rasa. Pelayanan yang cepat meski begitu banyak pengunjung dan kenikmatan rasanya membuat kami tidak segan-segan menambah makan. Bahkan ketiga putri kami yang biasa susah makan ikut nambah porsi masing-masing satu porsi. Luar biasa.
Luar biasanya lagi jumlah bilangan rupiah yang harus kami bayarkan jauh lebih rendah dari perkiraan kami. Sungguh-sungguh nikmat. Usai makan kami langsung kembali ke Semarang untuk melanjutkan perjalanan kami pulang ke Jakarta. Oya, karena pergi satu keluarga akhirnya kami memutuskan naik taksi PURI KEN**** yang mengunakan armada Avanza baru dan pengemudiya jujur. Rp.280.000 sampai ke stasiun Tawang. Rasanya cukup berimbang dengan jika naik damri yang belum jelas beli tiketnya dimana dan dijemput dimana perorang Rp.50.000 jika dari Kudus. Jadi jika dikali 5 orang mencapai Rp.250.000,-
Memang masih banyak tempat wisata di sekitaran Kudus yang belum kami jelajahi. Kami pun belum sempat menjelajah daerah Colo maupun ke sejumlah air terjun yang berada di sekitar Kudus. Air terjun Rahtawu, monthel, Ternadi, Air terjun Pengantin/kembar dan berbagai tempat wisata lain di sekitar Kudus menjadi catatan penutup perjalanan wisata kami sekeluarga di Kudus. Masih begitu banyak PR yang harus dibenahi untuk menjadikan wisata sebagai sumber devisa utama.