Hal yang demikian itu bisa menjadikan kesejahteraan petugas pencatat nikah tidak terjamin, sehingga diduga bisa terjadi penentuan tarif dari petugas pencatat sesuai dengan kehendaknya, dan hal inilah dipandang menurunkan harkat martabat pegawai pencatatnya.
UU NO 22 Â TAHUN 1946 TERTIB ADMINISTRASI DAN BIAYA
Seperti semangat lahirnya Undang-Undang ini yaitu mewujudkan layanan yang sama dan besaran biaya yang sama seluruh Indonesia, maka awal yang ditata adalah hadirnya pegawai pencatat nikah yang pengangkatannya oleh Menteri Agama.
Di saat Undang-Undang ini dibuat sudah mengantisipasi adanya kemungkinan penyalah gunaan biaya pencatatan, maka lanjutan dalam pasal 1 ayat (4) UU 22 Tahun 1946 memerintahkan untuk menyetor biaya ke kas negara.Â
Meski belum sepenuhnya Undang-Undang ini dilaksanakan karena faktor geografis atau ketersediaan lembaga perbankan untuk penyetoran ke kas negara, setidaknya sebagian sudah diberlakukan dan mematuhi apa yang telah menjadi ketentuan. Sehingga secara perlahan-lahan peristiwa perkawinan dicatat dalam buku regester atau Akta nikah di Kantor Urusan Agama Islam (KUA).
Dari sini juga institusi Kantor Urusan Agama (KUA)  Kecamatan mulai ada. Kalau masih terlihat tulisan  Balai Nikah di Kantor Urusan Agama  (KUA) kecamatan, itu artinya bahwa di masa lalu tugas utama KUA memang tempat pencatatan nikah, sehingga terkenal kalau orang datang ke KUA dapat dipastikan mengurusi perkawinan. Untuk Tugas dan fungsi KUA di masa kini akan ada artikel lain.
SEMENTARA BERLAKU JAWA DAN MADURA
Meski cakupan Undang-Undang ini hendak mencakup seluruh wilayah nusantara, namun karena kadaan yang belum memungkinkan, sehingga hanya diberlakukan di Jawa dan Madura.