Amanah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah mencatatkan perkawinan. Namun tidak semua perkawinan bisa dicatatkan karena terlebih dahulu harus dilakukan sesuai dengan  hukum agama masing.
Sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.Â
Dalam pencatatan perkawinan terdapat dua lembaga pencatat yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan bagai pelaksanaannya menurut Agama Islam. Sedangkan pelaksanan perkawinan selain menurut agama Islam adalah catatan sipil.
Pasal 2 ayat (1) Peaturan Pemerintah nomor 9 Tahun 1975 tentang pelasanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebenarnya belum menayatakan dengan tegas tentang Lembaga institusi pencatatan bagi yang pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama Islam.Â
Untuk pencatatan dirujuk kembali dengan Undang-Undang nomor 32 Tahun 1954 Tentang Penatatapan berlakunya Undang - Undang Republik Indonesia tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan Madura.
LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NO 22 TAHUN 1946
Sekadar penyegarkan wawasan tentang Undang-Undang Nor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Latar belakang munculnya atau diterbitkannya Undang-Undang ini untuk memberikan perlakuan pencatatan Perkawinan merata di seluruh tanah air.
 Sebelum kemerdekaan pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk menggunakan peraturan  seperti yang termuat Huwelijksordonnantie S.1929Nomor 348 jo. S. 1931 Nomor 467. Vortenlandsche Huwelijksordonnantie S. 1933 Nomor 98 dan Huwelijksordonnantie Buitengewesten  S.  1932 Nomor 482.Â
Huwelijk adalah bahasa belanda yang artinya nikah atau Perkawinan, maka jelaslah bahwa peraturan pencatatan Perkawinan era Belanda atau pra Kemerdekaan. Sesuai dengan kondisi saat itu, maka pencatatan perkawinan tidak berlaku nasional, karena memang Indonesia belum terwujud sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia secara bebas karena belum merdeka, meski sudah ada sumpah Pemuda yang dideklarasikan pada tanggal 28 oktober 1928.
Dalam Howelijksordanantie memberikan celah dan kewenangan pencatatan perkawinan berbeda satu daerah dengan lainnya, begitu halnya dengan ongkos atau biaya pencatatannya. Karena dalam praktek pencatatan Perkawinan bersaran ongkos walau satu desa atau satu daerah berbeda berdasarkan kelas sosial dan tingkat sosial seseorang.
Hal yang demikian itu bisa menjadikan kesejahteraan petugas pencatat nikah tidak terjamin, sehingga diduga bisa terjadi penentuan tarif dari petugas pencatat sesuai dengan kehendaknya, dan hal inilah dipandang menurunkan harkat martabat pegawai pencatatnya.
UU NO 22 Â TAHUN 1946 TERTIB ADMINISTRASI DAN BIAYA
Seperti semangat lahirnya Undang-Undang ini yaitu mewujudkan layanan yang sama dan besaran biaya yang sama seluruh Indonesia, maka awal yang ditata adalah hadirnya pegawai pencatat nikah yang pengangkatannya oleh Menteri Agama.
Di saat Undang-Undang ini dibuat sudah mengantisipasi adanya kemungkinan penyalah gunaan biaya pencatatan, maka lanjutan dalam pasal 1 ayat (4) UU 22 Tahun 1946 memerintahkan untuk menyetor biaya ke kas negara.Â
Meski belum sepenuhnya Undang-Undang ini dilaksanakan karena faktor geografis atau ketersediaan lembaga perbankan untuk penyetoran ke kas negara, setidaknya sebagian sudah diberlakukan dan mematuhi apa yang telah menjadi ketentuan. Sehingga secara perlahan-lahan peristiwa perkawinan dicatat dalam buku regester atau Akta nikah di Kantor Urusan Agama Islam (KUA).
Dari sini juga institusi Kantor Urusan Agama (KUA)  Kecamatan mulai ada. Kalau masih terlihat tulisan  Balai Nikah di Kantor Urusan Agama  (KUA) kecamatan, itu artinya bahwa di masa lalu tugas utama KUA memang tempat pencatatan nikah, sehingga terkenal kalau orang datang ke KUA dapat dipastikan mengurusi perkawinan. Untuk Tugas dan fungsi KUA di masa kini akan ada artikel lain.
SEMENTARA BERLAKU JAWA DAN MADURA
Meski cakupan Undang-Undang ini hendak mencakup seluruh wilayah nusantara, namun karena kadaan yang belum memungkinkan, sehingga hanya diberlakukan di Jawa dan Madura.
Pasca kemerdekaan, para pendiri bangsa ini sudah berpikiran maju dan jauh menjangkau ke depan dengan dihasilkannya Undang-Undang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Karena situasi bangsa masih dalam penyusunan administrasi kepemerintahan dan pembangunan infrasruktur, serta memulihkan jiwa bangsa atau para pejuang kemerdekaan. Maka yang paling memungkinkan Undang-Undang ini diberlakukan masih di pulau Jawa dan Madura.
Setidaknya Undang-Undang ini telah memulai pemenuhan hak kependudukan bagi warga negara. Sebagaimana tertuang dalam penjelasan Undang-Undang ini. Dengan begitu setiap warga negara yang melakukan perkawinannya dan pelaksanaannya sesuai dengan hukum agama, akan memperoleh kekuatan Hukum karena telah diakui oleh negara dan tercatat.
Jelaslah bahwa amanat pencatatan perkawinan bagi yang pelaksanaannya menurut hukum agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatatn Nikah (PPN) baik di KUA atau di tempat lain yang ditentukan oleh pemerintah.
Bersambung...
TATA CARA MENCATATKAN PERKAWINAN BAGIAN2