Mohon tunggu...
hamdhani prasetyo
hamdhani prasetyo Mohon Tunggu... Penulis - Seorang yang peduli akan kisah

Sarjana Komunikasi Universitas Bung Karno Jakarta dan Desain Komunikasi Visual - Akademi Teknologi Grafika Trisakti, pernah menjadi Aktivis AMANAD UBK - Jarkot (2003), pernah bekerja sebagai Staff Shooting TVC di DRTV Innovation Store (2008), pernah bekerja di Indopos dan Tangerangonline (2009), Ketua Harian FRPBA (Forum Penanggulangan Bencana Alam), pernah menjadi aktivis Greenpeace Indonesia - 1st Action Boat Team (2007), Koordinator Nasional Posraya Indonesia, pernah bekerja sebagai web content Kepresidenan RI (Joko Widodo), kini berkecimpung di dunia asuransi sebagai Agency Development PT Asuransi Sinarmas (2011-2014) dan PT Sompo Insurance Indonesia (2015-sekarang), serta pemerhati sejarah Islam dan Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Supersonic Part 1

13 Desember 2018   11:37 Diperbarui: 13 Desember 2018   12:12 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhirnya, dia melampiaskan kemarahannya, dengan menulis surat yang amat sangat penuh kata-kata amarah. Dia menulis di papan tulis dengan tujuan untukku, namaku besar tertulis di papan itu, aku harus membalasnya.

Oh, ciut nyaliku, bagaimana dia bisa tahu batinku, ah sungguh sial dan kenapapula dia bertindak nekat. Dilan pun akan marah bila dibeginikan, umpatku.

Tulisan itu sungguh jelas, dengan kalimat-kalimat khas. Aku merasakan ada kesedihan didalamnya. Sejenak aku terpaku diam, spidol hanya mampu kugenggam tanpa bisa kutulis balasan. Aku menunduk, malu rasanya. Tak pernah kubayangkan jadi seperti ini rasanya, bagaimana bisa dia mempermalukanku di depan banyak orang. Aku memang salah, tapi kau balas dengan salah juga, ungkapku.

"Jika sebuah bejana hati, berisi hanya  0,3 . Apa yang harus kamu isi yang seharusnya? Senangkah bukan pergi dengan Milimeter? Atau bersanding dengan Desimeter? Atau cukupkan aku dengan Quart! Jawab!", tulisnya.

 "Aku, minta maaf....aku tak bisa membalasmu" Tulisku.

Seketika suasana hening. Setelahnya, demi dirinya aku rela berdiri didepan kelas, ini memang salahku. Kulihat tulisannya masih bersih, seperti menungguku mengotorinya, sampai suatu ketika dia memilih seseorang untuk maju, maju kepadanya merelakan tercoreng. Kutahu ini bukan dirinya, walaupun dia tersenyum atas jawaban yang benar, tiba-tiba kulihat butiran itu menetes.

No 3 Sandal Jepit

Lelah rasanya kaki ini, namun aku harus terus berlari. Sekolah Kejuruan membuat adrenalin memuncak. Tap! ah, akhirnya aku berhasil menaiki bus yang berjalan sedang dan menjauh dari kerumunan liar yang mengejarku dengan beragam benda itu. Musim hujan membuat jalanan tanah becek, sandal jepit dan menggulung celana abu-abu jadi solusi. 

Bagaimana sepatuku, ah sudahlah biar dia beristirahat di rak sepatu rumah dulu. Payung hitam berujung besi melindungi dari hujan deras hari ini selain jadi senjata penangkis, kulihat di dalam tas selempang besarku satu buku tulis kusam nampak sedikit basah, sebentar aku berpikir, alamak aku lupa membawa potlot berkelir HB dan 2B, hari ini adalah ujian Gambar Bangunan, bagaimana ini.

Dari bangku belakang, rasanya tak asing melihat. Sebuah kalimat yang rasanya kukenal terlulis dalam sebuah buku berjarak 2 bangku didepanku. 

Kalimat itu serasa mengingatku akan sesuatu, namun entah apakah itu. Lamunanku buyar, teriakan Taman Bunga menandakan sudah sampai dekat sekolahku dan segera bergegas turun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun