Mohon tunggu...
Hairil Suriname
Hairil Suriname Mohon Tunggu... Lainnya - Institut Tinta Manuru

Bukan Penulis.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Puisi adalah Energi dari Emosi yang Terkoreksi (Seri II)

31 Maret 2021   08:43 Diperbarui: 31 Maret 2021   09:02 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : www.idntimes.com

Hallo Kompasianer.

Maaf, sudah bikin kalian menunggu untuk membaca tulisan lanjutan dari tulisan Seri I ini. Kalian bisa baca tulisan sebelumnya disini, Klik : Seri I

Penulis ulangi lagi ya pertanyaan sebelumnya.

Mengapa mendengar atau membaca setiap puisi membuat kita tidak pernah bosan?

Menurut penulis, jawaban yang tepat adalah ambiguitas dalam puisi. Sebab, setiap puisi mengandung ambiguitas dan merupakan hal yang sangat menarik. Terakhir penulis baru tau kalau unsur ambiguitas tersebut seringkali menyebabkan interpretasi seseorang terhadap suatu puisi dapat jauh berbeda dengan interpretasi orang lain seperti yang penulis alami.

Kalian akan menemukan banyak hal dalam sebuat puisi, menemukan kelenturan dalam majas mengandung nilai kebebasan yang begitu besar, yang menurut hemat penulis kebebasan ini adalah kemerdekaan bagi penulis juga pembacanya khusnya yang penulis rasakan.

Selain Gie, ada beberapa puisi yang paling penulis suka adalah penyair Wiji Thukul. Puisi Wiji Thukul ini setiap kali didengar seperti menyulut api dalam semangat penulis, sengat emosional. Sudah banyak orang menjadikan puisi-puisi Wiji ini sebagai kekuatan yang memiliki kekuatan memantra setiap hati pembaca, atau para demonstrasi di jalanan. Entah, kata-kata dalam puisi Wiji mengandung semacam spirit sekan mendorong orang yang mendengar untuk terus melakukan perlawan merebut hak kemerdekaan dalam diri mereka.

Wiji Thukul adalah seorang yang lantang berteriak atas nama rakyat masa itu. Mungkin hal itu  dilakukan karena memang dia merasakan penderitaan yang dirasakan rakyat. Yang penulis tahu tentang Wiji Thukul adalah, dia sosok pemuda yang menghendaki perubahan untuk rakyat, perubahan yang mampu memperbaiki nasib rakyat dari kekejaman Rezim saat itu. Cita-citanya adalah menghentikan segala bentuk penindasan-penindasan dengan kata-kata dan tindakan nyata

Pembaca mungkin tidak setuju kalau penulis mengatakan bahwa lewat sosok Wiji Thukul ini adalah jalan yang paling tepat untuk mengantarkan anak-anak muda Indonesia membaca ulang sejarah negerinya sendiri. Mengapa penulis katakan demikian?

Karena penulis mengakuinya, menyukai perjuangan Wiji Thukul dan kawan-kawannya, menyukai puisi dan semua penggunaan kata yang dia pakai dalam setiap puisi dia. Setuju atau tidak, ketika kamu yang suka dengan puisi, coba lah membaca ulang puisi-puisi milik Wiji Thukul. Penulis mengakui bahwa bait-bait puisinya adalah membaca narasi kegigihan dari sebuah perjuangan anak-anak muda Indonesia pada zamannya, yang terus bergerak untuk melakukan perubahan. Hal itu jika relevan dengan keadaan sekarang, maka kata-kata Wiji Thukul itu merupakan senjata.

Bukan hanya puisi, Wiji Thukul pun kerap menulis banyak hal. Tentang kehidupan sosial buruh, seputar biaya hidup, biaya anak sekolah, upah yang minim, kesehatan yang tidak dijamin oleh pihak korporasi dll menjadi topik yang selalu mewarnai tulisannya.

Wiji Thukul, sosok yang tidak pernah berhenti meneriakkan kepada pemimpin bahwa harus mau mendengar apa yang dikehendaki rakyatnya. Menurut penulis, gagasan seperi Wiji Thukul sudah jarang kita temukan di zaman yang terlalu cangih ini. Dia tidak pernah alpa menyematkan semua gagasan perjuangan, kebebasan, kemerdekaan dll yang dia punya dalam setiap puisi yang dia tulis.

Penulis paling suka dengan dua puisi  yang ditulis Wiji Thukul adalah Puisi  Peringatan dan Puisi  Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa. Mengapa dua puisi ini sangat penulis sukai?

Karena menurut hemat penulis, bait-bait dalam puisi ini masih terus menghiasi setiap suara pada aksi demonstrasi menuntut hak dan keadilan atau pun kesejahteraan rakyat dijalanan dll

Terkahir di bangku kuliah, penulis juga baru tahu kalau kumpulan puisi karya Wiji Thukul akhirnya dibukukan pada tahun 1999 yang berisi 141 puisi. Ini termasuk karya yang luar biasa banyak dan perlu di hargai. Untuk mengetahui sejauh mana dimensi konteks sosial, atau dimensi teks dan dimensi kognisi sosial dari pemikiran Wiji Thukul, kamu harus membuka lagi puisi-puisinya untuk harus membaca dan memaknainya lagi, lagi dan lagi. Itu menurut penulis. Berikut puisinya :

PERINGATAN

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

Itulah puisi "Peringatan" yang paling penulis suka, dan yang penulis tahu kalau puisi ini ditulis di Solo pada tahun 1986. Puisi yang ditulis oleh Wiji Thukul tersebut menjadi salah satu buah karya terbaik yang pernah dihasilkannya. Mungkin karena idiom dari kata "lawan" mejadi kekuatan sebenarnya dari puisi ini.

Sekarang ini, puisi Widji Thukul adalah simbol perlawanan zaman. Penulis katakan demikian karena puisi-puisi dia selalu dibacakan sebagai pengobar api semangat perlawanan kaum kecil yang tertindas. Begitu juga puisi kedua yang paling penulis suka. Berikut puisinya :

AKU MASIH UTUH DAN KATA-KATA BELUM BINASA

aku bukan artis pembuat berita
tapi aku memang selalu kabar buruk buat penguasa

puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
yang berkeringat dan berdesakan
mencari jalan
ia tak mati-mati
meski bola mataku diganti
ia tak mati-mati
meski bercerai dengan rumah
ditusuk-tusuk sepi
ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur, tenaga, luka

kata-kata itu selalu menagih
padaku ia selalu berkata
kau masih hidup

aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa

18 Juni 1997
Wiji Thukul

Melalui karya-karyanya mereka ini, Chairil Anwar, Soe Hok Gie dan Wiji Thukul, membawa kita jauh lebih dalam untuk memaknai  keadilan dan kesejahteraan, juga banyak hal termasuk pertentangan kelas yang terjadi antara kaum proletar dengan borjuis yang sangat kentara. Tiga orang ini kerap di jadikan sebagai symbol perjuangan bagi banyak generasi di masa mereka hingga sekarang

Beberapa karya mereka bahkan sangat-sangat meyulut emosi, yang penulis angkat sebagai tema diatas tadi terkait puisi adalah emosi yang terkoreksi karena yang penulis alami adalah demikian. Sebenarnya puisi hanyalah kata-kata yang menurut Wiji Thukul tidak akan pernah mati. Sejauh yang penulis tahu, menulis dan membaca puisi sama sekali bukan tindakan kriminal atau merusak negara, tapi rasa yang harus di tata untuk berpikir bagaimana kita harus benar-benar bernegara.

Terimakasih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun