Mohon tunggu...
Hadi Tanuji
Hadi Tanuji Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan, Analis Data, Konsultan Statistik, Pemerhati Hal Remeh Temeh

Aktivitas sehari-hari saya sebagai dosen statisika, dengan bermain tenis meja sebagai hobi. Olah raga ini membuat saya lebih sabar dalam menghadapi smash, baik dari lawan maupun dari kehidupan. Di sela-sela kesibukan, saya menjadi pemerhati masalah sosial, mencoba melihat ada apa di balik fenomena kehidupan, suka berbagi meski hanya ide ataupun hanya sekedar menjadi pendengar. Sebagai laki-laki sederhana moto hidup pun sederhana, bisa memberi manfaat kepada sesama.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Komunikasi Itu Rasa, Bukan Hanya Kata

25 April 2025   21:36 Diperbarui: 25 April 2025   21:36 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seni komunikasi ((Sumber: radarjabar.com)

Tapi jawaban Mas Ada bikin saya tercengang (dan senyum sendiri):

"Nggih, nyuwun ngapunten Pak. Wingi-wingi kulo mboten sempat ngresiki gorong-gorong, jadi kathah sampah mampet. Mbenjing kulo resikane."

Artinya: "Iya, maaf Pak. Kemarin-kemarin saya belum sempat membersihkan gorong-gorong, jadi banyak sampah yang mampet. Besok saya bersihkan."

Baru saya ngeh, bahwa "uang 50 ribu" itu cuma kiasan. Sebuah sindiran halus tapi elegan. Tidak menyinggung. Tidak langsung menyuruh. Tapi pesannya sampai. Dan hebatnya lagi, Mas Ada langsung menangkap maksudnya. Ini seni. Seni menyampaikan pesan. Seni memahami arah bicara. Seni menyikapi dengan kepala dingin.

Komunikasi semacam ini tidak diajarkan di sekolah, tapi dibentuk oleh kebiasaan, empati, dan kepekaan sosial. Di kampung, banyak orang tak pernah belajar ilmu komunikasi, tapi mampu menyampaikan dan menerima pesan dengan cerdas dan penuh rasa.

Saya jadi ingat satu pengalaman lain. Dalam sebuah rapat, seorang teman menyampaikan beberapa hal yang menurutnya penting. Ia mengkritik sejumlah kesalahan yang terjadi di lembaga---dan kalau dipikir-pikir, isi yang disampaikan memang relevan dan perlu untuk perbaikan bersama. Tapi sayangnya, cara penyampaiannya terdengar seperti sedang marah. Nada suaranya meninggi, wajahnya tegang, dan pilihan katanya kurang lembut.

Alhasil, isi pesannya tenggelam. Yang ditangkap justru emosi dan ekspresi wajahnya. Salah satu petinggi lembaga langsung merespons---bukan pada substansi yang disampaikan, tapi pada gaya penyampaiannya. Teman saya dianggap songong, tidak sopan, bahkan kurang ajar.

Saya menyimak peristiwa itu sambil merenung. Kadang memang, niat baik bisa jadi salah tafsir hanya karena cara menyampaikannya tidak pas. Di situlah seni komunikasi benar-benar terasa. Bukan hanya soal benar atau salah, tapi bagaimana menyampaikan dengan rasa. Komunikasi, seperti juga memasak, butuh takaran. Sedikit saja terlalu asin atau terlalu pedas, bisa-bisa orang tak jadi makan. Padahal niat awalnya baik: ingin memberi gizi.

Sama-Sama Mengajak, Tapi Beda Hasil

Saya pernah melihat kasus lain yang tak kalah menarik. Masih soal komunikasi.

Si A dan si B sama-sama merayu si C untuk membeli barang. Barang yang mereka tawarkan sama. Materi yang disampaikan sama, karena sudah ditraining sebelumnya. 

Tapi hasilnya beda.

Si A ditolak. Si B diterima. Si C akhirnya membeli barang dari si B.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun