Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kelopak-kelopak Kamboja

15 Januari 2019   10:41 Diperbarui: 15 Januari 2019   12:42 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dari debu kembali ke debu
Hidup dimulai setelah mati

Secuplik khotbah seorang pemuka agama dengan nada sedang untuk mengantar sebuah peti hitam ke liang lahat di antara cericit pipit-pipit liar di ranting-ranting pohon mahoni yang menaungi jongkokku. Gunting rumput, sapu lidi, dan kantong plastik hitam berada di sampingku.

Kelopak-kelopak kamboja berguguran. Satu per satu. Bukan seperti dramatisasi dalam film-film , melainkan berguguran karena beberapa batangnya digetarkan oleh tubuh-tubuh yang sedang bersandar sambil seseunggukan, atau tersenggol lalu-lalang beberapa pelayat.

Di sekitar liang lahat orang-orang berjubah hitam dan yang lainnya berseragam pegawai mengantar jenazah ke peristirahatan terakhir. Seorang wanita terkulai lemas dalam rangkulan dua wanita lainnya.

Air mata tak terbendung. Sesenggukan belum juga jeda. Beberapa perempuan berkacamata hitam masih berdiri dekat liang lahat yang mulai diurug dengan tanah cokelat oleh empat orang.

Matahari tidak manja lagi. Ranting-ranting pohon mahoni menghalangi sinarnya menyengat badanku. Daun rindangnya bergoyang-goyang kegelian sebab digelitik angin sepoi. Bayang-bayangnya pun meliuk perlahan di permukaan tanah berselimut rerumputan. Udara sejuk menyelusup ke pori-pori melalui celah-celah pakaian.

Bisa kaubayangkan suasana yang begitu syahdu ini, Kawan?

Mataku belum beralih dari situasi di sana. Ada kenikmatan anti-klimaks setiap menyaksikan acara puncak semacam itu setelah pistolku melakukan tugasnya dengan akurat. Kenikmatan klimaks adalah ketika pistolku menyalak, darah muncrat, dan tubuh yang tersungkur. Tidak perlu gerakan lambat seperti adegan di film-film.

Menyaksikan pemakaman atas tubuh yang tersungkur dan terbujur beku adalah anti-klimaksnya. Kenikmatan tersendiri yang menyempurnakan seluruh gejolak di dadaku, Kawan. Kesempurnaan tiada tandingan-bandingan. Oh, betapa alangkah tiada taranya!

Aku akan selalu tersenyum melihat kendaraan terakhir berwarna hitam itu diluncurkan ke balik kulit bumi. Tidak lupa kugumamkan ucap "selamat menikmati istana yang damai nan tentram".

Ucapan kesembilan sebagai bukti keampuhan pistolku meski hanya rakitan. Mirip Walther P22 yang memuat sepuluh butir peluru dalam magasennya. Tembakanku pun lumayan jitu, meski aku belum termasuk amatir. Apalah pentingnya amatir atau profesional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun