Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kemiskinan Sastra dalam Provinsi Terkaya di Indonesia

14 Januari 2017   04:27 Diperbarui: 7 November 2017   23:33 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sektor-sektor pekerjaan yang sangat menjanjikan materi dalam jumlah besar, dan dapat diraih dalam tempo sesingkat-singkatnya, merupakan ‘wilayah’ tujuan utama. Sementara, pada masa itu, sastra dan budaya tulis-menulis di Kaltim bukanlah bagian dari budaya setempat. Kebanyakan para pendatang pun tidak berbekal kemampuan bersastra atau tulis-menulis.


Sekilas Perkembangan dan Kemajuan Dunia Kepenulisan-Sastra-Budaya

Perkembangan dan kemajuan dunia kepenulisan sastra-budaya di daerah-daerah luar Pulau Kalimantan bukanlah sebuah berita baru. Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi (Makassar), bahkan Nusa Tenggara Timur (NTT), telah menunjukkan betapa lancarnya proses produksi karya, dan regenerasi penulis sastra-budaya.

Ambil satu contoh, yaitu NTT, yang jauh di bawah kekayaan Kaltim. Generasi muda (putra-putri daerah), misalnya Mario F. Lawi, Ragil Sukriwul, Cipriyan Bitin, Dody Dohan Kuje, dan lain-lain di Bumi Pattimura sangat bergairah dalam kepenulisan sastra-budaya, dan tetap menghormati para senior mereka, misalnya Gerson Poyk dan Umbu Landu Paranggi meskipun kedua tokoh besar ini berada di luar NTT.

Sementara perkembangan dan kemajuan sastra dan budaya tulis-menulis di Pulau Kalimantan, meski secara kekayaan juga jauh di bawah Kaltim, Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) selalu menunjukkan realitas yang signifikan. Pada dekade 1980-an, berdasarkan sebuah penelitian tak resmi yang dilakukan oleh Penyair Bambang Widiatmoko, Kalsel menduduki peringkat kedua dalam kategori populasi penyair terbanyak di Indonesia setelah Yogyakarta.

Proses regenerasi sastrawan di Bumi Antasari, dalam esai Micky Hidayat, Sepintas Sastrawan dan Komunitas di Kalimantan (Radar Banjarmasin, 2008), dimulai 1930-an, yang dipelopori oleh Merayu Sukma, Anggraini Antemas (Yusni Antemas), M. Yusuf Aziddin, Artum Artha, Ramlan Marlin, Hadharyah M., Merah Danil Bangsawan, dan seterusnya hingga generasi 1980-2000-an, di antaranya Y.S. Agus Suseno, M. Rifani Djamhari, Noor Aini Cahya Khairani, Ali Syamsuddin Arsi, Ariffin Noor Hasby, Sandi Firly, Fahruraji Asmuni, Eddy Wahyuddin SP, Sainul Hermawan, M. Hasbi Salim, Harie Insani Putra, Abdurrahman Al Hakim, Abdurrahman El Husaini, Isuur Loeweng, M. Nahdiansyah Abdi, Hajriansyah, Elang W. Kusuma, Aliman Syahrani, Shah Kalana Al-Haji, Hardiansyah Asmail, Andi Jamaluddin AR.AK, Fahmi Wahid, Fitriadi, M.Fitran Salam, Joni Wijaya, dan lain-lain, yang telah rajin menghasilkan karya yang patut diperhitungkan secara nasional.

Lantas, bagaimana dengan Bumi Mulawarman, jika secara ekonomi-budaya dibandingkan dengan NTT dan Kalsel? Secara ekonomi, jelas Kaltim jauh lebih kaya. Secara sastra-budaya, Korrie Layun Rampan telah menunjukkan kualitas-kuantitas karya. Tetapi, mengenai perkembangan dan kemajuan dalam regenerasi penulisnya, masih menjadi pekerjaan rumah yang cukup serius.


Sekilas Mengenai Bahasa dan Kearifan lokal

Ada satu bahasa dan kearifan lokal yang semakin samar dari tatanan informasi-komunikasi, bahkan dalam wilayah Kaltim sendiri. Apa lagi kalau bukan bahasa Kutai, ditambah adat-istiadat (kearifan lokal) Kutai sebagai warisan budaya dari kerajaan tertua di Indonesia..

Sementara ini, ketika orang Indonesia melihat Kaltim, bahasa dan adat-istiadat (kearifan lokal) yang sering mengemuka melalui tulisan atau karya sastra berskala nasional adalah Dayak Benuaq melalui kepiawaian dan kecintaan Korrie Layun Rampan terhadap realitasnya. Novel Upacara(1976), contohnya, paling tidak, menjadi bukti yang sangat fenomenal.

Tetapi, di Benua Etam yang memiliki 3 kota dan 7 kabupaten ini masih ada lagi Suku Dayak dalam Rumpun Ot Danum, selain Dayak Benuaq, yaitu Paser, Tunjung, Bentian, dan Kutai. Padahal Ot Danum pun bukanlah rumpun satu-satunya di Kaltim. Ada Rumpun Dayak Punan (15 suku), Rumpun Dayak Apo Kayan, dan Rumpun Dayak (22 suku), dan Rumpun Murut (7 suku). Belum terbaca secara gamblang dan berkelanjutan mengenai penggunaan bahasa dengan masing-masing rumpun Dayak ini dalam karya-karya sastra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun