Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Pantun Ramadan dalam Jejak Sastra Nusantara

24 Maret 2024   10:58 Diperbarui: 24 Maret 2024   12:16 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekspresi membaca pantun, sumber gambar: Aris Heru Utomo

Tanpa terasa, pelaksanaan ibadah Ramadan sudah mencapai pertengahan bulan alias sudah mencapai hari ke-13 atau 14, tergantung kapan seseorang pertama kali melaksanakan puasa. Banyak cara bisa dinyatakan dalam menunjukkan kebahagiaan menjalankan ibadah Ramadan, termasuk saat menanti Idul Fitri di akhir Ramadan, salah satunya dengan pantun.

Pantun merupakan salah satu karya sastra berbentuk puisi Indonesia (Melayu) yang berasal dari bahasa Minangkabau yaitu patuntun, yang berarti penuntun.

Dalam penulisannya, pantun terikat dengan aturan dimana tiap bait (kuplet) biasanya terdiri atas empat baris yang bersajak (a-b-a-b). Pantun memiliki rima atau sajak dengan pola yang khas.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa setiap bait pantun terdiri atas empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran. Baris ketiga dan keempat merupakan isi. Sampiran dan isi tidak perlu berhubungan.

Sebagai karya sastra, mulanya pantun menjadi tradisi di kalangan masyarakat Melayu, namun kemudian berkembang ke berbagai masyarakat lainnya di Nusantara, salah satunya adalah masyarakat Betawi.

Pada masyarakat Betawi, pantun sering digunakan sebagai penyampaian pesan dalam acara-acara adat. Hal ini terlihat dalam pantun yang disampaikan secara berbalas di acara palang pintu pernikahan Betawi. Pada acara ini, pantun digunakan sebagai syarat yang diajukan oleh mempelai wanita dalam menerima pihak mempelai pria.

Menariknya, meski disampaikan dalam acara formal, seringkali pantun masyarakat Betawi berisikan kata-kata lucu dan tidak taat asas (a-b-a-b). Bahkan kerap pula dijadikan guyonan untuk dibilang cakep seperti yang disampaikan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah terpilih asal Jawa Barat, Komeng, ketika manggung di salah satu acara stand up comedy.

"Orang Betawi itu kalau mau dibilang cakep gak pakai ke salon, gak pakai operasi plastik. Dia cukup pantun. Pantun aja udah dibilang cakep," ujar Komeng

"Nih saya contohkan, ke Ciputat beli kacang panjang," ujar Komen lagi

"Cakep!!!," komentar para penonton, serentak tanpa dikomando

"Nah, itu kan ...," celetuk Komeng dengan gaya khasnya, diikuti ketawa serempak para penontonnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun