Kedua, even daerah, khususnya ulang tahun kota/kabupaten. Untuk even ini saja, Kaltim bisa menyelenggarakan 10 hari ulang tahun daerahnya, bahkan 20 jika ditambah dalam rangka ulang tahun sebuah dewan kesenian.
Ketiga, even untuk peringatan (attribute) kepada tokoh sastra. Misalnya Peringatan kepada Korri Layun Rampan, Peringatan kepada Chairil Anwar, Peringatan kepada Rendra, dan lain-lain.
Dari ketiga even ini masing-masing calon penyelenggara bisa mengadakan suatu perlombaan yang berbeda, dan beraneka tema, dalam satu tahun. Dengan kepekaan dan kejelian sekaligus kreativitas anggota suatu lembaga atau institusi, niscaya tidak ada perlombaan yang diadakan dalam rangka satu even, semisal sama-sama Hari Kemerdekaan.
Pentingnya Penghargaan
Sebagian orang masih menganggap sepele terhadap suatu karya tulis atau sastra, semisal puisi. Mungkin karena sebagian puisi tertulis secara pendek, apalagi berisi kata mendayu-dayu. Lantas sebagian dari mereka menganggap bahwa mencipta puisi itu sangatlah mudah.
Memang mudah bagi orang-orang yang kurang memahami puisi beserta kualitasnya. Bagi kebanyakan orang Kaltim, mencipta puisi atau karya sastra lainnya tidaklah mampu memenuhi kebutuhan hidup serba materialistis. Dengan ijazah yang jelas, bekerja di perusahaan yang mampu memberi gaji tinggi, maka bereslah urusan kebutuhan hidup.
Realitas yang jamak, ‘kan? Padahal, puisi, sebagai suatu tulisan atau sastra, merupakan hasil dari proses intelektual. Proses (penulisan atau penciptaan suatu karya) tersebut dilakukan dengan sungguh-sungguh, termasuk dengan melakukan pembacaan, penelitian, dan lain-lain.
Sastra bukan hanya puisi. Yang paling nyata terlihat adalah sebuah novel. Dan, setiap proses dilakukan dalam kurun waktu berbeda-beda. Proses itu pun disebut-sebut oleh para intelektual sebagai “kerja budaya”. Oleh sebab itu suatu tulisan atau karya sastra termasuk dalam kategori Hak Cipta menurut Undang-undang Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI).
Persoalan yang masih sering terjadi adalah penghargaan terhadap suatu karya tulis atau sastra. Di Kaltim pun jarang terselenggara lomba-lomba seputar penciptaan karya tulis. Persoalan ini diperparah oleh media cetak, yang sama sekali tidak sudi membayar honorarium kontributor luar. Imbasnya pun jelas, “kerja budaya” sekadar menyia-nyiakan waktu, dan tidak menghasilkan materi (profit) apa-apa. Kebanyakan orang Kaltim pun tidak menganggap suatu karya sastra sebagai hal yang berharga dalam realitas kehidupan di Kaltim.
Tidak heran, Kaltim yang kaya raya ternyata miskin dalam jumlah pencipta karya tulis atau sastra. Tentu berbeda dengan daerah lain, terdekat adalah Kalsel.
Terlepas dari penghargaan itu, masih ada penghargaan lainnya, misalnya memberikan buku yang terdapat karya si kontributornya, baik sebagai bukti suatu kegiatan pembinaan maupun suatu pertandingan karya. Dan, mari berhitung lagi.