Pada waktu lainnya Kaltim pun terbuka bagi para pendatang dengan latar SARA masing-masing. Secara demografi, dalam Wikipedia.Com, tercatat suku-suku bangsa di Kaltim adalah Jawa (30,24%), Bugis (20,81%), Banjar (12,45%), Dayak (9,94%), Kutai (7,80%), Toraja (2,21%), Paser (1,89%), Sunda (1,57%), Madura (1,32%), Buton (1,25%), dan lain-lain (10,51%), termasuk di antaranya Makassar, Mandar, Minahasa, Minang, Flores, dan Tionghoa.
Para pendatang pun membawa bahasa masing-masing sehingga pembauran bahasa merupakan suatu peristiwa sehari-hari yang tidak mungkin terelakkan. Bahasa Banjar, Bugis, dan Jawa merupakan bahasa yang, selama puluhan bahkan ratusan tahun, sering menjadi bagian dalam komunikasi masyarakat Kaltim sehari-hari, di samping bahasa Indonesia sebagai pemersatunya.
Kalau Korrie Layun Rampan secara kontinyu, konsisten, dan konsekuen menggunakan bahasa dan mengangkat budaya lokal (Dayak Benuaq), masih terbuka peluang berbahasa campuran antarsuku bangsa dalam karya-karya sastra generasi pasca-Korrie. Bukankah keberadaan bahasa-bahasa itu pun termasuk unsur penting dalam khasanah sastra-budaya di Kaltim?
Pada saat bersamaan, informasi-komunikasi masyarakat telah dijejali oleh bahasa-bahasa populer melalui gencarnya teknologi media massa (audiovisual-elektronik) dengan deklarasi “kekinian”. Penggunaan kata sepele, semisal “gue-lu”, sudah menjadi bagian dari komunikasi sebagian orang muda.
Peran Dunia Pendidikan
Lembaga manakah yang berperan utama dalam penyebaran pengetahuan mengenai perkembangan bahasa dan sastra Indonesia, serta mengenalkan tokoh-tokoh sastra (sastrawan) di Kaltim kepada generasi muda, selain Korrie Layun Rampan, ada Ahmad Dahlan (D. Adham), Mansyah Usman, Oemar Mayyah Effendi, Maswan Dachri, Kadrie Oening, M. Suhana, Burhan Dahlan, Haji Ami, A. Sani Rahman, Hamdi AK, Abd. Alwie, E.M. Adeli, Hiefnie Effendi, Ahmad Noor, Masdari Ahmad, H.M. Ardin Katung, Djumri Obeng, Awang Shabriansyah, Sudin Hadimulya, Hermansyah, Sidharta Wijaya, Sandy, R. Panji Setianto, Anis AS, Saiff Bacham, Syamsul Munir Asnawie, Johansyah Balham, Ibrahim Konong, Masdari, M. Nansi, H. Zairin Dahlan, M.D. Hasjim Masjkur, A. Rifai Ahmad, Bachtiar Syambaha, Frans Dino Hero, Arkanita, Sattar Miskan, Sarwani Miskan, Mugni Baharuddin, Karno Wahid, M. Surya Mas’ud, Hamidin, Syarifuddin Basran, Yadi AM, Adam M. Chiefni, Fiece Esf, Muchran Ismail, Dimas Hono, Budi Warga, M.S. Koloq, Sukardi Wahyudi, Syafruddin Pernyata, Nanang rijono, Abdul Rahim Hasibuan, Kony Fahran, Roedy Harjo Widjono AMZ, Zulhamdani AS, Herman A. Salam, Jafar Haruna, Arif Er Rachman, Hasan Aspahani, Imam Budiman, Abdillah Syafe’I, Ade Ikhsan, Muhammad Fajar, Muhammad Syafiq, Amien Wangsitalaja, Shantined, Maya Wulan, Fitriani Um Salva, Gita Lydia, Dian Herawati Situmorang, Atik Sri Rahayu, Atik Sulisyowati, Kartika Heriyani, Hermiyana, Eni Ayu Sulisyowati, Khoiriyyatuzzahro, Miranti Rasyid, Sari Azis, Siti Maleha, Wuri Handayani, Alya Kashfy, Mega Ayu Mustika, dan lain-lain?
Yang jelas-pasti jawabannya adalah lembaga pendidikan formal alias sekolah. Yang tidak jelas-pasti, tidak usah susah-payah memberi jawaban. Dan, peletak dasar pengenalan sastra, karya beserta tokoh-tokohnya di Kaltim adalah pendidikan dasar (Sekolah Dasar).
“Pendidikan sastra anak sudah saatnya mendapat perhatian serius dari pemerintah. Bahkan, program pendidikan itu sudah sangat mendesak untuk dibuka di sekolah-sekolah dasar. Hal itu penting, terutama sebagai langkah dini dan fundamental untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang beridentitas jelas,” kata Prof. Dr. Burhan Nurgiyantoro dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta pada 2003, atau 13 tahun silam.
Sementara penerapan otonomi daerah yang dimulai sejak 1999, dan memberi keleluasaan daerah memberikan ‘sentuhan’ kearifan (budaya) lokal dalam muatan pendidikan di daerah masing-masing, masih belum optimal. Mungkin kurikulum nasional masih terlalu ‘mencampuri’ urusan otonomi pendidikan beserta muatan lokalnya di daerah-daerah, termasuk Kaltim.
Selama ini pendidikan bidang bahasa dan sastra Indonesia masih dimulai di pendidikan menengah pertama dan atas. Membaca karya sastra, mengenal tokoh sastra, dan belajar tulis-menulis. Itu pun belum terlalu serius, misalnya rajin mencipta dan menelaah karya, melainkan masih sebatas upaya mengejar target nilai untuk rapot.
Persoalan lainnya yang jamak, belum semua guru Bahasa dan Sastra Indonesia mampu memberi teladan yang memadai sebagai pendidik budaya setempat, pencipta sekaligus pengamat karya, apalagi memahami seluk-beluk perkembangan sastra-budaya, misalnya karya-karya sastra atau tokoh-tokoh sastra Kaltim, dan perkembangan mutakhir.