Keterkaitan Hukum Karmaphala Dengan Tindak Pelaku Korupsi
Korupsi adalah tindakan menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang, baik di pemerintahan, lembaga, maupun organisasi untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Biasanya, ini melibatkan penyelewengan uang, manipulasi kebijakan, atau pemberian fasilitas secara tidak adil demi kepentingan pribadi. Secara sederhana, korupsi bisa diibaratkan seperti "mencuri dalam diam", karena pelakunya sering berpura-pura bekerja untuk kepentingan umum, padahal diam-diam mengambil hak orang lain. Korupsi tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum, keadilan, dan pemerintahan. Â
Di Indonesia saat ini, korupsi bukan lagi hal yang asing. Hampir setiap hari kita mendengar berita pejabat ditangkap karena menyalahgunakan dana publik, bahkan di sektor yang seharusnya paling bersih seperti pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial. Mirisnya, korupsi tidak lagi terjadi hanya di tingkat pusat, tapi juga merambat sampai ke daerah, menyentuh hal-hal yang langsung berdampak pada hidup masyarakat kecil. Contohnya, di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil, masyarakat masih harus berjuang dengan harga kebutuhan pokok yang naik, layanan publik yang belum optimal, dan lapangan kerja yang terbatas. Namun ironisnya, di saat yang sama, miliaran hingga triliunan rupiah anggaran negara justru "hilang" karena dikorupsi. Uang yang seharusnya digunakan untuk membangun sekolah, memperbaiki jalan, atau meningkatkan layanan kesehatan justru masuk ke kantong oknum yang tidak bertanggung jawab. Inilah sebabnya mengapa korupsi sangat berbahaya: bukan hanya soal uang yang dicuri, tapi masa depan bangsa yang dipertaruhkan. Selama korupsi masih dianggap "biasa" dan pelakunya bisa lolos dengan mudah, masyarakat akan terus kehilangan kepercayaan terhadap hukum dan keadilan.
Setiap perbuatan baik pasti akan berbuah baik tapi sebaliknya jika perbuatan yang diperbuat buruk pasti hasilnya akan buruk juga. Di dunia ini banyak orang pasti percaya dengan adanya hukum " Sebab-Akibat". Begitu pula dalam ajaran agama Hindu dipercaya adanya hukum "Sebab-Akibat" yang disebut Karma Phala. Karma Phala merupakan salah satu bagian dari Panca Sradha. Karma Phala berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu karma berarti "perbuatan" atau "tindakan" sedangkan phala berarti "buah" atau "hasil". Jadi Karma Phala adalah "buah dari perbuatan", baik yang telah dilakukan maupun yang akan dilakukan. Â
Karma Phala memberi optimisme kepada setiap manusia, bahkan semua makhluk hidup. Dalam ajaran ini, semua perbuatan akan mendatangkan hasil. Apapun yang kita perbuat, seperti itulah hasil yang akan kita terima. Yang menerima adalah yang berbuat, dan efeknya kepada orang lain. Karma Phala adalah sebuah Hukum kausalitas bahwa setiap perbuatan akan mendatangkan hasil. Dalam konsep Hindu, berbuat itu terdiri atas: perbuatan melalui pikiran, perbuatan melalui perkataan, dan perbuatan melalui tingkah laku, Ketiganya lah yang akan mendatangkan hasil bagi yang berbuat.Kalau perbuatannya baik, hasilnya pasti baik, demikian pulasebaliknya. Karma phala terbagi atas tiga jenis, yaitu:
Sancita Karma Phala merupakan jenis phala/hasil yang diterima pada kehidupan sekarang atas perbuatannya di kehidupan sebelumnya.
Prarabdha Karma Phala merupakan jenis perbuatan yang dilakukan pada kehidupan saat ini dan phalanya akan diterima pada kehidupan saat ini juga.
Kryamana Karma Phala merupakan jenis perbuatan yang dilakukan pada kehidupan saat ini, namun phalanya akan dinikmati pada kehidupan yang akan datang.
Bahkan ada sloka dari kitab Bhagavatgia dan Sarasamuscaya yang relevan dan berkaitan dengan Karma Phala.
karmany evadhikaras te
ma phalesu kadacana
ma karma-phala-hetur bhur
ma te sango 'stv akarmani
Artinya:
Engkau berhak melakukan tugas kewajibanmu yang telah ditetapkan, tetapi engkau tidak berhak atas hasil perbuatan. Jangan menganggap dirimu penyebab hasil kegiatanmu, dan jangan terikat pada kebiasaan tidak melakukan kewajibanmu. Bhagawad Gita (II, 47)[1]
Apan iking janma mangke, pagawayang subhasubhakarma juga ya, ikang ri pena
pabhuktyan karmaphala ika, kalinganya, ikang subhasubhakarma mangke ri pena ika an
kabukti phalanya, ri pegatni kabhuktyanya, mangjanma ta ya muwah, tumuta wasananing
karmaphala, wasana ngaraning sangakara, turahning ambematra, ya tinutning paribhasa,
swargacyuta, narakasyuta, kunang ikang subhasubhakarma ri pena, tan paphala ika,
matangnyan mangke juga pengponga subha asubhakarma.
Artinya:
Terlahir sebagai manusia adalah kesempatan untuk melakukan perbuatan bajik dan jahat,
yang hasilnya akan dinikmati di akherat. Apapun yang diperbuat dalam kehidupan ini
hasilnya akan dinikmati di akherat; setelah menikmati pahala akherat, lahirlah lagi ke
bumi. Di akherat tidak ada perbuatan apapun yang berpahala. Sesungguhnya hanya
perbuatan di bumi inilah yang paling menentukan. Sarasamuscaya (I,7)
Sama halnya dengan hukum "Sebab-Akibat" ketika seseorang melakukan korupsi, ia sejatinya telah melakukan adharma (ketidakbenaran). Ia mengambil apa yang bukan haknya, menyakiti orang lain secara tidak langsung, dan merusak tatanan keadilan. Perbuatan seperti ini pasti menimbulkan karma buruk. Meskipun si pelaku mungkin terlihat hidup nyaman dan aman di dunia saat ini, hukum karma tidak bisa dihindari. Apa yang ditanam, itu pula yang akan dituai.Korupsi bukan hanya persoalan hukum duniawi, tapi juga pelanggaran terhadap hukum alam. Setiap uang yang dikorupsi adalah hak orang lain,hak rakyat, hak anak-anak yang seharusnya mendapat pendidikan, hak pasien yang membutuhkan pengobatan, bahkan hak generasi mendatang yang membutuhkan lingkungan dan sistem yang bersih.
Karma phala tidak mengenal waktu. Balasan dari perbuatan korupsi bisa datang dalam bentuk penderitaan batin, kehancuran nama baik, kehidupan keluarga yang tidak harmonis, atau bahkan kelahiran kembali dalam kondisi yang penuh kesengsaraan. Sebaliknya, mereka yang hidup jujur dan dharma, meskipun tidak selalu kaya secara materi, akan menerima buah kebaikan dalam bentuk ketenangan, kehormatan, dan kelahiran yang lebih mulia. Oleh karena itu, dalam konteks kehidupan saat ini yang penuh godaan kekuasaan dan uang, penting bagi setiap individu khususnya pemegang kekuasaan untuk selalu sadar akan konsekuensi spiritual dari setiap tindakannya. Hukum manusia bisa dihindari, tapi hukum karma tidak bisa ditipu. Â
Dalam ajaran Hindu, terdapat sebuah prinsip moral yang dapat dijadikan pedoman untuk menjauhkan diri dari perilaku tercela seperti korupsi, yaitu Tri Kaya Parisudha. Istilah ini terdiri dari tiga kata: Tri berarti tiga, Kaya berarti perilaku atau tindakan, dan Parisudha berarti disucikan. Jadi, Tri Kaya Parisudha dimaknai sebagai tiga bentuk perilaku yang disucikan dan idealnya dijalankan oleh setiap umat Hindu.
Dalam kerangka ajaran ini, korupsi termasuk tindakan yang bertentangan dengan kebenaran dan keadilan karena melanggar norma hukum dan nilai moral. Untuk menghindari perbuatan seperti ini, umat Hindu dianjurkan untuk menerapkan Tri Kaya Parisudha yang mencakup tiga aspek utama:
Manacika (pikiran yang suci): Berpikir dengan niat yang baik dan positif akan melahirkan kejujuran dalam hati dan pikiran, yang disebut Satya Hridaya.
Wacika (ucapan yang benar): Mengucapkan hal-hal yang benar dan tidak menyakiti akan membentuk kejujuran dalam bertutur kata, yang dikenal dengan Satya Wacana.
Kayika (perbuatan yang benar): Bertindak dengan cara yang baik dan sesuai dengan nilai kebenaran akan mencerminkan kejujuran dalam perilaku, atau Satya Laksana.
Ketiga unsur ini harus dijalankan secara selaras. Sayangnya, banyak orang yang mengabaikan prinsip ini demi mengejar keuntungan pribadi melalui jalan yang tidak sah, seperti melakukan korupsi. Padahal, jika setiap individu benar-benar menjalankan Tri Kaya Parisudha, maka tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai dharma seperti korupsi dapat dihindari. Â
Segala tindakan yang kita lakukan selalu berawal dari pikiran. Sebelum seseorang bertindak, ia pasti akan memikirkannya terlebih dahulu. Umumnya, apa yang muncul dalam pikiran kita akan tercermin dalam perilaku kita. Oleh karena itu, ketika kita mampu mengarahkan pikiran ke hal-hal yang positif, maka secara otomatis tindakan kita pun cenderung mengarah pada hal-hal yang baik pula.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI