Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kebajikan Tidak Pernah Membenci Perubahan

1 Agustus 2022   18:25 Diperbarui: 1 Agustus 2022   18:51 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebajikan Tidak Pernah Membenci Perubahan (gambar: scmp.com, diolah pribadi)

Aku bahagia terlahir sebagai manusia dengan bekal karma baik yang senantiasa menuntunku untuk selalu berbuat bajik. Sedari kecil, sebelum aku benar-benar mengerti manfaat dari berdana, secara spontan aku telah melakukannya dengan memberikan sedekah kepada para tunawisma yang cacat.

Sekali waktu kulihat seorang bapak tua yang berjalan dengan tongkat putihnya. Dia sepertinya hendak menyeberangi jalan. Walaupun lalu-lintas tidak seramai sekarang, tapi jelas terlihat dia kesulitan dalam menyeberang.

Tanpa pikir panjang aku menghampirinya dan bertanya "apakah bapak ingin menyeberang? mari saya bantu". Tercium bau tak sedap dari aroma tubuhnya, tapi aku tak peduli, kutuntun tangannya dan kuajak dia menyeberang.

"Sudah sampai pak" ujarku "terima kasih nak" jawabnya lirih hampir tak terdengar.

Akupun langsung menaiki mikrolet yang sepertinya sudah menungguku, sementara kulihat dia meraba-raba jalan dengan tongkatnya.

Sepanjang perjalanan ke kantorku, aku merenung, "aneh .... kan aku juga takut menyeberang, kok bisa-bisanya jadi pahlawan kesiangan membantu si bapak itu menyeberang jalan". Lamunanku lenyap di lampu merah Pinangsia, saat aku harus turun.

Kejadian itu terus berulang setiap pagi selama kurang lebih tiga bulan. Sampai pada suatu hari ada seorang teman yang melihat ritualku di pagi itu. Dia mengajakku menumpang di mobilnya. Sepanjang perjalanan menuju kantor, temanku menanyakan tentang apa yang aku lakukan di pinggir jalan. Aku lalu menceritakan kepadanya kisah tentang sang bapak tuna netra.

Temanku lalu bertanya lebih jauh. Pertanyaanya banyak sekali dan aku tidak bisa menjawabnya. Barulah aku sadar jika aku memang tidak pernah mengobrol lebih jauh lagi dengan sang bapak, kecuali "selamat pagi pak, ayo kita nyebrang" dan jawaban yang kudapatpun selalu sama "terima kasih, nak."

Tapi selama itu juga tak pernah tercetus keinginan dari diriku untuk bertanya, siapakah dia, mau kemana, mengapa tak ada yang mengantarnya, dan bla ... bla ... bla. 

Sejak saat itu, temanku selalu menjemputku di lokasi yang sama. Ia kebetulan berada pada rute yang sejalan. Lumayan, aku tidak perlu lagi naik mikrolet, bisa menghemat pengeluaran.

Tapi anehnya sejak aku menumpang mobil temanku, bapak tunanetra itu tidak pernah muncul lagi. Padahal aku selalu tepat waktu tiba di tempat biasa pada jam yang sama. Sang bapak bagaikan hilang ditelan bumi. Aku jadi penasaran.

Saat temanku mendapat tugas keluar kota selama seminggu, aku punya kesempatan untuk menunggu sang bapak lebih lama. Aku sengaja datang ke tempat menunggu mikrolet lebih awal dan membiarkan beberapa mikrolet itu berialu pergi tanpa kutumpangi. Maksudku agar dapat bertemu dengannya. Akan tetapi, pupuslah harapanku. Sang Bapak Tua tidak pernah kelihatan lagi.

Seminggu kemudian temanku kembali menjemputku "Hai non kenapa kok tampangnya mendung begitu, sih? padahal langit cerah lho!" sapa temanku begitu aku naik ke mobilnya.

"Aku heran deh, kok bapak pengemis itu tidak pernah muncul lagi. Jadi penasaran juga nih. Kok bisa ya aku tidak bertanya lebih detail lagi tentang dirinya. Dan tahukah kamu selama seminggu ini aku mencoba untuk menunggunya,tapi usahaku sia-sia."

"Gegara kamu nih, doi tidak pernah menampakkan diri lagi" aku terus berceloteh.

Raut wajah temanku berubah serius, "iya ... yah aneh juga, awas lho jangan-jangan dia dedemit."

"Bagaimana kalau dia ternyata dewa yang sedang menyamar, dia datang untuk menguji seberapa pedulinya aku terhadap orang lain, apalagi yang dekil kaya gitu?" balasku menimpali candaannya.

Hari demi hari pun berlalu, bulan berganti bulan, dan peristiwa itu pun terlupakan. Sampai pada saat aku tertimpa musibah.

Aku bekerja di sebuah perusahaan yang adminnya masih carut marut, alias berantakan. Pada suatu saat kami mendapat pesanan barang dalam partai besar. Jumlah transaksinya ratusan juta rupiah, pada saat kurs dollar AS masih sekitar 2.500 rupiah.

Perusahaan kami tidak punya orang legal yang bisa mengawali kontrak kerja. Dan bagian keuangan pun belum mengeri tentang prosedur bank garansi.

Karena menyangkut jumlah yang besar maka kuhadirkan petinggi-petinggi perusahaan, termasuk sang pemilik. Semua tampak sudah sudah sempurna, sales supervisorku pun sudah meninjau kantor pemesan, PT.XXX yang terletak di bilangan Roxi. Menurutnya perusahaan itu bonafid.

Aku sebagai pelaksana impor sudah mengambil ancang-ancang waktu. Menjanjikan waktu serah terima barang dalam jangka 15 hari lebih lama dari perkiraan. Siapa tahu saja ada hal yang tidak terduga selama perjalanan.

Dugaanku tepat, barang impor tersebut tiba sekitar 15 hari lebih lama dari perkiraan. Ia telah sampai di gudang PT.XXX selaku pemesan. Aku pun mulai beraksi. Sebagai langkah pertama, bukti tanda terima barang yang asli kubawa ke bank, bersamaan dengan invoice dari ekspedisi dan giro untuk pembayaran ongkos kirim yang jumlahnya Rp. 1.200.000,- 

Giro ditolak!

Alasannya, tidak ada dana. Dan bukan hanya itu, PT.XXX juga sudah masuk daftar hitam pada beberapa bank. Ketika kami ke kantornya, ternyata itu kantor milik perusahaan lain. Entah bagaimana cara sales supervisorku menyelidiki keberadaan perusahaan itu.

Aku segera melapor ke atasanku, selaku GM Marketing. Tapi beliau angkat tangan dan mengganggap kesalahan itu ada ditanganku dan sang pemilik perusahaan, karena bukan ia yang menandatangani kontraknya.

Kejadian itu kulaporkan pula ke GM Keuangan. Yang kudapat malah makian. Dianggapnya aku tidak bisa kerja, menyebabkan kedatangan barang terlambat sehingga bank garansinya kadaluwarsa. Padahal aku sama sekali tidak tahu soal pembuatan bank garansi, seharusnya si GM lebih tahu.

Hal yang sama saat aku melapor pada GM Administrasi, dengan entengnya dia menjawab "sayakan cuma bagian pengiriman, kamu suruh kirim ya saya kirim, sana bilang ke pak Owner aja, diakan yang tanda tangan kontrak!"

Akhirnya langkah pamungkas pun kutempuh. Aku mengirim surat tertulis kepada owner perusahaanku. Si bos memberi jawaban yang sangat bijak, "dalam dunia bisnis hal seperti ini sering terjadi, lain kali kita harus lebih hati-hati."

Walaupun jawaban beliau melegakan, tapi aku tidak terima disalahkan oleh tiga jendral kancil itu. Mempunyai kekuasaan penuh di bawah big boss, tapi suka cuci tangan.  

PT. XXX hilang tanpa berita. Maklum pada saat itu belum ada hape android seperti sekarang, jadi keberadaannya benar-benar tak terlacak.

Kejadian itu sangat membebani pikiranku, pada siapa aku harus mengadu? Kedua orangtuaku? Tidak mungkin karena aku tidak mau mereka ikutan terbebani dengan masalah yang tidak diketahuinya.

Saat itu juga aku sedang kehilangan pegangan. Aku belum mengenal Dhamma dengan benar, aku mogok ke Vihara, karena kecewa dengan keadaan. Romonya pun jadi bulan-bulanan. Ceramahnya aku anggap tidak sesuai dengan perilakunya, pokoknya ancur abis deh.

Di waktu yang bersamaan ayahku pun pindah alam, padahal aku putri kesayangannya. Aku benar-benar terpuruk, ibarat orang sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Hari-hari selanjutnya kulalui layaknya robot. Bangun pagi, ngantor, makan, makan dan makan tanpa henti. Aku bisa menghabiskan dua mangkok mie ayam sekaligus, pulang makan dan tidur. Untungnya aku termasuk orang yang mudah terlelap. Begitu seterusnya setiap hari.

Alhasil dalam kurun waktu kurang lebih tiga bulan berat badanku bertambah sepuluh kilogram, sungguh sangat fantastis. Perangaiku berubah, aku benar-benar jadi orang bertemperamen tinggi. Ditambah lagi, sedari dulu aku memang orang yang berkarakter keras. Sedikit saja, senggol bacok.

Sampai disuatu senja, saat aku hendak pulang dan sudah duduk manis di mikrolet, tiba-tiba temanku berteriak memanggil dan menyuruhku untuk turun.

"Kak ada telpon dari bank AAA ..."

"Ach .... bilang aja saya sudah pulang" jawabku acuh tak acuh, aku lagi bete juga sih karena mikroletnya ngetem.

"Enny sudah bilang begitu kak, tapi katanya ini penting tentang PT.XXX!"

Bagaikan disengat kalajengking, aku langsung melompat turun. Dan untungnya telpon itu belum diputus.

Petugas bank itu memintaku untuk menceritakan kronologi transaksi dengan PT.XXX, yang dengan lancarnya kuceritakan, karena itu sudah memenuhi otakku selama tiga bulanan.

Setelah selesai bercerita, ibu itu mengarahkan agar aku membuat surat ke bagian bank garansi tanpa menyebutkan sebuah nama pun. Dia mendikte isi surat yang harus kubuat untuk kemudian aku kirim via facsimile. Beliau juga mengatakan dalam kurun waktu tujuh hari kerja pasti uangnya sudah masuk ke rekening perusahaan.

Keesokan paginya, dengan penuh harap kurapikan isi surat yang telah didiktekan. Aku dibantu oleh kakaknya boss-ku. Beliau berjanji akan memberikan sumbangan sebesar lima ratus ribu rupiah kepada kaum dhuafa jika proses tersebut berhasil.

Dan bagaikan orang buta yang mencari jalan sedirian selama tiga bulan, tiba-tiba saja ada orang baik yang menuntunku. Dan tralala... tidak sampai satu minggu uang itu sudah masuk ke rekening perusahaan tanpa kurang sepeser pun juga.

Diriku lalu berefleksi, beberapa waktu yang lalu aku membantu mengarahkan seorang pengemis tunanetra menyeberangi jalan. Dan kini aku dibantu, diarahkan oleh petugas bank yang baik hati. Keduanya punya kesamaan, sampai saat ini masih menjadi misteri dalam hidupku.

Mungkin benar jika si pengemis adalah dewa yang sedang menyamar untuk mengujiku diriku. Untungnya aku berkesempatan melakukannya. Menabur perbuatan baik pada saat yang tepat. Dan tentunya juga menuai karma baik pada saat yang sama.

Peristiwa tersebut kemudian membawa perubahan-perubahan yang pasti dalam hidupku. Aku semakin berjodoh dan menyelami Buddha Dhamma dengan sesungguh hati.

Itulah sekelumit pengalamanku tentang keajaiban dari perbuatan bajik yang kutanam selama ini. Menurutku kebajikan tak kenal waktu dan tempat, kesempatanannya ada dimana saja.

Buah kebajikkan tak pernah mengingkari hasil, maka jadikanlah Kebajikan itu Harga Mati dalam menjalani hidup yang penuh dinamika dan selalu berubah. Jangan lupa juga mengibaratkan perbuatan bajik laksana gulungan bola salju. Semuanya pasti akan kembali kepada kita sendiri.

Semoga semua mahluk hidup berbahagia.

**

Jakarta, 1 Agustus 2022
Penulis: Sumana Devi, Kompasianer Mettasik

"Hidup Cuma Sekali, Harus Dinikmati. Sakit Diobati, Mati Dikremasi"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun