Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kebajikan Tidak Pernah Membenci Perubahan

1 Agustus 2022   18:25 Diperbarui: 1 Agustus 2022   18:51 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebajikan Tidak Pernah Membenci Perubahan (gambar: scmp.com, diolah pribadi)

Aku bahagia terlahir sebagai manusia dengan bekal karma baik yang senantiasa menuntunku untuk selalu berbuat bajik. Sedari kecil, sebelum aku benar-benar mengerti manfaat dari berdana, secara spontan aku telah melakukannya dengan memberikan sedekah kepada para tunawisma yang cacat.

Sekali waktu kulihat seorang bapak tua yang berjalan dengan tongkat putihnya. Dia sepertinya hendak menyeberangi jalan. Walaupun lalu-lintas tidak seramai sekarang, tapi jelas terlihat dia kesulitan dalam menyeberang.

Tanpa pikir panjang aku menghampirinya dan bertanya "apakah bapak ingin menyeberang? mari saya bantu". Tercium bau tak sedap dari aroma tubuhnya, tapi aku tak peduli, kutuntun tangannya dan kuajak dia menyeberang.

"Sudah sampai pak" ujarku "terima kasih nak" jawabnya lirih hampir tak terdengar.

Akupun langsung menaiki mikrolet yang sepertinya sudah menungguku, sementara kulihat dia meraba-raba jalan dengan tongkatnya.

Sepanjang perjalanan ke kantorku, aku merenung, "aneh .... kan aku juga takut menyeberang, kok bisa-bisanya jadi pahlawan kesiangan membantu si bapak itu menyeberang jalan". Lamunanku lenyap di lampu merah Pinangsia, saat aku harus turun.

Kejadian itu terus berulang setiap pagi selama kurang lebih tiga bulan. Sampai pada suatu hari ada seorang teman yang melihat ritualku di pagi itu. Dia mengajakku menumpang di mobilnya. Sepanjang perjalanan menuju kantor, temanku menanyakan tentang apa yang aku lakukan di pinggir jalan. Aku lalu menceritakan kepadanya kisah tentang sang bapak tuna netra.

Temanku lalu bertanya lebih jauh. Pertanyaanya banyak sekali dan aku tidak bisa menjawabnya. Barulah aku sadar jika aku memang tidak pernah mengobrol lebih jauh lagi dengan sang bapak, kecuali "selamat pagi pak, ayo kita nyebrang" dan jawaban yang kudapatpun selalu sama "terima kasih, nak."

Tapi selama itu juga tak pernah tercetus keinginan dari diriku untuk bertanya, siapakah dia, mau kemana, mengapa tak ada yang mengantarnya, dan bla ... bla ... bla. 

Sejak saat itu, temanku selalu menjemputku di lokasi yang sama. Ia kebetulan berada pada rute yang sejalan. Lumayan, aku tidak perlu lagi naik mikrolet, bisa menghemat pengeluaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun