Lebih malu disebut orang lain tidak punya pekerjaan, atau lebih malu anak kita cerita ke khalayak bahwa dia seorang fatherless?
Kalau saya sih, jauh lebih malu disebut ayah yang tak ada buat anak. Menjadi sosok yang hadir sebatas nama di akta lahir atau pemberi warisan miliaran, namun absen dalam ingatan dan perjalanan tumbuh kembangnya, adalah kegagalan yang tak termaafkan.
Ini memang preferensi, karena hidup adalah pilihan. Kita tidak dilahirkan sempurna dengan semua serba kecukupan, artinya harus ada yang dipilih. Apakah materi yang menjadi prioritas tertinggi, atau keluarga yang menjadi nomor satu.Â
Artikel ini adalah sudut pandang saya pribadi, yang berani menganggap bahwa keluarga lebih utama dari sekadar materi, dan legacy adalah hal yang lebih mahal dari gaji.
Dewasa ini ada sebuah diskursus menarik, terutama yang berawal dari tren di Eropa: Latte Father. Istilah ini merujuk pada seorang ayah muda yang dengan segelas kopi atau latte di satu tangannya, menggendong bayi kecil di tangan lainnya. Mereka mengisi taman-taman, kafe, dan playground di jam-jam yang secara tradisional diasosiasikan dengan jam kerja kantoran.
Ini tentu sebuah pandangan kontras dengan budaya Timur yang masih kental, yang menganggap tugas utama ayah sebagai kepala rumah tangga, ya mencari uang---sebagai pejuang di luar rumah.
Setiap ayah yang berada di rumah saat jam kerja, otomatis akan mendapatkan cap pengangguran atau label merendahkan Bapak Rumah Tangga (BRT).
Tetapi harus saya jelaskan, saya dan mereka yang masuk sorotan tersebut, mayoritas tidak akan lepas tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan dapur. Mereka mungkin bekerja freelance, berbisnis kecil dari rumah, atau bahkan secara finansial dipayungi oleh pasangan yang memiliki pendapatan lebih mapan dan berperan menjadi support systemnya.
Yang pasti, pilihan untuk berada lebih banyak di dalam rumah dan menjadi Latte Father atau BRT bukan tanpa pertimbangan. Ini adalah keputusan sakral yang akan saya jabarkan berdasarkan pengalaman pribadi dan pengamatan di sekitar.
Penyebab Keputusan Sakral Menjadi Latte Father atau Bapak Rumah Tangga
Mengapa seorang pria yang dididik untuk menjadi provider utama, memilih untuk 'kalah' di mata publik dengan memilih peran domestik?
Pertama, pengalaman pribadi dan legacy orang tua. Bisa jadi, ayah dari Latte Father tersebut adalah seorang yang justru tidak ingin dicontohnya dalam mengasuh anak. Mereka adalah generasi ayah yang terlampau fokus mencari materi hingga lupa menyentuh anaknya.Â
Anak-anak ini kemudian tumbuh dengan kekosongan. Sang anak, kini sebagai ayah, ingin menjadi sosok yang hadir untuk keluarga di waktu apapun. Ia ingin memutus rantai fatherless emosional tersebut, demi kesehatan mental anak dan keturunan.
Kedua, memahami pasangan dan keutuhan keluarga. Kadang kala, menjadi Latte Father adalah sebuah akibat dari sesuatu hal yang tidak diduga sebelumnya. Misalnya, setelah memiliki anak, ternyata sang istri memiliki kecenderungan baby blues atau lebih stress dengan tekanan keluarga tentang karier.Â
Suami dengan motivasi ingin mempertahankan keutuhan keluarga dan memahami pasangannya, akan cenderung mengalah dan mengambil peran sebagai bapak rumah tangga. Ia sadar, income bisa dicari, namun kesehatan mental dan keharmonisan rumah tangga jauh lebih krusial.
Ketiga, ini memang eranya, pergeseran peran generasi. Fenomena Latte Father yang makin banyak ditemui ini bisa jadi merupakan penanda sebuah era. Era di mana generasi kakek-nenek, banyak yang tidak mau mengalah dan berhenti untuk bekerja.Â
Kakek-nenek tidak mau diribetkan dengan urusan mengasuh bayi, dan ini berdampak pada roda kehidupan anaknya yang kebetulan juga pas-pasan secara keuangan. Alhasil, setelah berembug dengan istri dan merasa istri lebih mempunyai peluang fix income yang besar dan stabil, suami akan ambil peran sebagai pejuang di dalam rumah.Â
Ia memutar otak mencari penghasilan tambahan sembari menjadi manajer logistik, pengasuh, koki, dan guru pertama bagi anak-anaknya.
Legasi Kini atau Nanti?
Apa legasi nyata menjadi Latte Father? Tentu saja bukan pujian dari orang lain, terutama mereka yang masih mengukur kesuksesan hanya dari materi.
Dengan kondisi menjadi bapak rumah tangga, tentu di momen kini akan lebih banyak cibiran yang terlontar ke dalam telinga. "Kok di rumah terus?", "Istrimu yang kerja, ya?", "Nanti kalau sudah gede, anakmu mau jadi apa kalau bapaknya nganggur?"
Biarkan saja hal itu dan tidak perlu dilawan, karena biasanya cibiran itu hanyalah perisai diri yang digunakan mereka untuk menutupi hal yang secara fundamental tidak bisa mereka penuhi, seperti keharmonisan keluarga, kedekatan emosional dengan anak, atau ketidakmampuan mereka sendiri dalam menyeimbangkan karier dan kehidupan domestik.
Legasi sejati menjadi Latte Father, adalah ketika anak sudah dewasa nanti. Di saat itulah mereka mengerti pengorbanan yang kita lakukan.Â
Anak mungkin tidak punya kebanggaan punya ayah yang kaya raya dengan deretan mobil mewah, tetapi sosok ayah yang hadir dan membersamainya adalah jaminan hubungan baik ketika ia dewasa nanti. Ayah adalah fondasi rasa aman pertama seorang anak.
Bonding ayah dan anak ini akan sangat berarti. Momen ketika sang anak dewasa dan bisa melihat ayahnya sebagai manusia, bukan sekadar pemberi tongkat estafet, maaf, warisan.
Saya teringat lirik lagu James Blunt berjudul Monster, yang menggambarkan hubungan kompleks ayah-anak yang akhirnya bertemu sebagai dua pria dewasa:
I'm not your son, you're not my fatherWe're just two grown men saying goodbyeNo need to forgive, no need to forgetI know your mistakes and you know mineAnd while you're sleeping I'll try to make you proud.
Itulah kemenangan hakiki bagi para Latte Father dan Bapak Rumah Tangga. Mereka mungkin kalah sedikit di mata uang dan status sosial hari ini, namun mereka menang banyak dalam saldo emosional dan legasi di masa depan.Â
Mereka memilih untuk menjadi sahabat yang dicintai anak, daripada hantu yang dipuja-puji dunia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI