Mohon tunggu...
Greg Satria
Greg Satria Mohon Tunggu... FOOTBALL ENTHUSIASTS

Just Persistence

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Bapak Rumah Tangga dan Latte Father, Kalah Sedikit tapi Menang Banyak

11 Oktober 2025   21:14 Diperbarui: 11 Oktober 2025   21:14 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi fenomena Latte Father. (Sumber : freepik via kompas.com)

Lebih malu disebut orang lain tidak punya pekerjaan, atau lebih malu anak kita cerita ke khalayak bahwa dia seorang fatherless?

Kalau saya sih, jauh lebih malu disebut ayah yang tak ada buat anak. Menjadi sosok yang hadir sebatas nama di akta lahir atau pemberi warisan miliaran, namun absen dalam ingatan dan perjalanan tumbuh kembangnya, adalah kegagalan yang tak termaafkan.

Ini memang preferensi, karena hidup adalah pilihan. Kita tidak dilahirkan sempurna dengan semua serba kecukupan, artinya harus ada yang dipilih. Apakah materi yang menjadi prioritas tertinggi, atau keluarga yang menjadi nomor satu. 

Artikel ini adalah sudut pandang saya pribadi, yang berani menganggap bahwa keluarga lebih utama dari sekadar materi, dan legacy adalah hal yang lebih mahal dari gaji.

Dewasa ini ada sebuah diskursus menarik, terutama yang berawal dari tren di Eropa: Latte Father. Istilah ini merujuk pada seorang ayah muda yang dengan segelas kopi atau latte di satu tangannya, menggendong bayi kecil di tangan lainnya. Mereka mengisi taman-taman, kafe, dan playground di jam-jam yang secara tradisional diasosiasikan dengan jam kerja kantoran.

Ini tentu sebuah pandangan kontras dengan budaya Timur yang masih kental, yang menganggap tugas utama ayah sebagai kepala rumah tangga, ya mencari uang---sebagai pejuang di luar rumah.

Setiap ayah yang berada di rumah saat jam kerja, otomatis akan mendapatkan cap pengangguran atau label merendahkan Bapak Rumah Tangga (BRT).

Tetapi harus saya jelaskan, saya dan mereka yang masuk sorotan tersebut, mayoritas tidak akan lepas tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan dapur. Mereka mungkin bekerja freelance, berbisnis kecil dari rumah, atau bahkan secara finansial dipayungi oleh pasangan yang memiliki pendapatan lebih mapan dan berperan menjadi support systemnya.

Yang pasti, pilihan untuk berada lebih banyak di dalam rumah dan menjadi Latte Father atau BRT bukan tanpa pertimbangan. Ini adalah keputusan sakral yang akan saya jabarkan berdasarkan pengalaman pribadi dan pengamatan di sekitar.

Penyebab Keputusan Sakral Menjadi Latte Father atau Bapak Rumah Tangga

Mengapa seorang pria yang dididik untuk menjadi provider utama, memilih untuk 'kalah' di mata publik dengan memilih peran domestik?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun