Pertama, pengalaman pribadi dan legacy orang tua. Bisa jadi, ayah dari Latte Father tersebut adalah seorang yang justru tidak ingin dicontohnya dalam mengasuh anak. Mereka adalah generasi ayah yang terlampau fokus mencari materi hingga lupa menyentuh anaknya.Â
Anak-anak ini kemudian tumbuh dengan kekosongan. Sang anak, kini sebagai ayah, ingin menjadi sosok yang hadir untuk keluarga di waktu apapun. Ia ingin memutus rantai fatherless emosional tersebut, demi kesehatan mental anak dan keturunan.
Kedua, memahami pasangan dan keutuhan keluarga. Kadang kala, menjadi Latte Father adalah sebuah akibat dari sesuatu hal yang tidak diduga sebelumnya. Misalnya, setelah memiliki anak, ternyata sang istri memiliki kecenderungan baby blues atau lebih stress dengan tekanan keluarga tentang karier.Â
Suami dengan motivasi ingin mempertahankan keutuhan keluarga dan memahami pasangannya, akan cenderung mengalah dan mengambil peran sebagai bapak rumah tangga. Ia sadar, income bisa dicari, namun kesehatan mental dan keharmonisan rumah tangga jauh lebih krusial.
Ketiga, ini memang eranya, pergeseran peran generasi. Fenomena Latte Father yang makin banyak ditemui ini bisa jadi merupakan penanda sebuah era. Era di mana generasi kakek-nenek, banyak yang tidak mau mengalah dan berhenti untuk bekerja.Â
Kakek-nenek tidak mau diribetkan dengan urusan mengasuh bayi, dan ini berdampak pada roda kehidupan anaknya yang kebetulan juga pas-pasan secara keuangan. Alhasil, setelah berembug dengan istri dan merasa istri lebih mempunyai peluang fix income yang besar dan stabil, suami akan ambil peran sebagai pejuang di dalam rumah.Â
Ia memutar otak mencari penghasilan tambahan sembari menjadi manajer logistik, pengasuh, koki, dan guru pertama bagi anak-anaknya.
Legasi Kini atau Nanti?
Apa legasi nyata menjadi Latte Father? Tentu saja bukan pujian dari orang lain, terutama mereka yang masih mengukur kesuksesan hanya dari materi.
Dengan kondisi menjadi bapak rumah tangga, tentu di momen kini akan lebih banyak cibiran yang terlontar ke dalam telinga. "Kok di rumah terus?", "Istrimu yang kerja, ya?", "Nanti kalau sudah gede, anakmu mau jadi apa kalau bapaknya nganggur?"
Biarkan saja hal itu dan tidak perlu dilawan, karena biasanya cibiran itu hanyalah perisai diri yang digunakan mereka untuk menutupi hal yang secara fundamental tidak bisa mereka penuhi, seperti keharmonisan keluarga, kedekatan emosional dengan anak, atau ketidakmampuan mereka sendiri dalam menyeimbangkan karier dan kehidupan domestik.
Legasi sejati menjadi Latte Father, adalah ketika anak sudah dewasa nanti. Di saat itulah mereka mengerti pengorbanan yang kita lakukan.Â