Beberapa minggu terakhir, kabar penjarahan di Indonesia dan Nepal mengejutkan banyak pihak. Lebih dari sekadar tindakan kriminal biasa, insiden ini rupanya mengungkap sisi gelap dari sebuah budaya negatif yang kian menjamur: flexing.Â
Fenomena pamer kekayaan ini, baik disadari maupun tidak, telah memicu kemarahan publik dan berujung pada tindakan yang tidak dapat dibenarkan, namun patut direnungkan sebagai peringatan.
Flexing sendiri adalah tindakan memamerkan harta benda, gaya hidup mewah, atau pencapaian pribadi secara berlebihan di media sosial, dengan tujuan untuk menarik perhatian, pujian, atau menunjukkan status sosial.Â
Dalam era digital, flexing menjadi sangat mudah dilakukan, di mana setiap unggahan foto atau video bisa menjadi etalase kemewahan yang dipertontonkan kepada jutaan pasang mata. Sayangnya, banyak yang lupa bahwa di balik sorotan dan pujian, tersimpan potensi risiko yang tak terduga.
Di Indonesia, di tengah gelombang demonstrasi rakyat yang menuntut empati dari para anggota DPR, ironisnya sejumlah penjarahan justru menyasar barang-barang yang kerap dipamerkan oleh tokoh publik.Â
Tak jauh berbeda, di Nepal, penjarahan terhadap aset hedonis pejabat publik disebut-sebut sebagai bentuk kemarahan atas perilaku flexing oknum tersebut, bahkan dari keturunan mereka yang akrab disebut sebagai "baby nepo".Â
Tentu saja, penjarahan bukanlah tindakan yang dapat dibenarkan.Â
Namun, pertanyaan besar kini kembali menghantui para pegiat media sosial, terutama mereka yang berpotensi atau sudah menjadi tokoh pembuat kebijakan publik, atau bahkan mereka yang berada di posisi netral namun suatu hari dapat menjadi wakil rakyat seperti Uya Kuya, Ahmad Sahroni, atau Eko Patrio: masihkah Anda berani melakukan flexing?
Awal Mula Budaya Flexing sebagai Senjata Cepat Meraih Follower
Budaya flexing, pada awalnya, muncul sebagai salah satu cara tercepat untuk meraih perhatian dan pengikut di media sosial. Berbagai konten, mulai dari "gerebek rumah" mewah, liburan mahal ke destinasi eksotis, hingga foto-foto dengan barang-barang branded mewah, atau bahkan podcast yang secara blak-blakan mengumbar kemewahan, menjadi santapan publik.Â
Konten semacam ini membuka tabir yang seharusnya menjadi rahasia dapur seseorang, membiarkan khalayak mengintip gaya hidup yang mungkin jauh dari realitas kebanyakan orang.