Mohon tunggu...
Greg Satria
Greg Satria Mohon Tunggu... FOOTBALL ENTHUSIASTS

Just Persistence

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Garuda Asia Antiklimaks, Kurangnya Rasa Lapar, dan Staying-Power

15 April 2025   08:02 Diperbarui: 15 April 2025   09:50 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi sebuah pemandangan menyedihkan, kala adik-adik Garuda Asia harus angkat koper di perempatfinal Piala Asia U-17 2025. Bermain di King Abdullah Sports City Hall Stadium, Jeddah, Senin (14/4/2025) malam WIB, anak asuhan Nova Arianto dibekap Korea Utara 0-6.

Hasil ini tentu merupakan sebuah antiklimaks dari perjalanan Indonesia yang meraih poin sempurna dalam tiga laga putaran grup. Memulai perjalanan spektakuler dengan mengalahkan Korea Selatan 1-0, Evandra Florasta dkk selanjutnya membekuk Yaman 4-1, dan ditutup dengan mengalahkan Afganistan 2-0.

Namun pada laga semalam, euforia kelolosan ke Piala Dunia U-17 mendadak terbungkam. Garuda Asia mungkin sudah terbiasa menghadapi permainan stylish Korea Selatan dan permainan tricky negara Asia Barat, tetapi Staying-Power ala Korea Utara menjelaskan kembali masih ada gap yang menganga.

Tak ingin membahas detail mengenai penyebab kekalahan telak ini, Coach Nova memilih menatap ke depan menyambut Piala Dunia U-17 yang tinggal hitungan lima bulan. Kembali ke Indonesia, ia menjanjikan sebuah evaluasi.

"Secara garis besarnya saya bisa melihat mental pemain sangat luar biasa ya. Walaupun secara permainan atau pengambilan keputusan di lapangan kami masih banyak yang harus diperbaiki, dan itu menjadi pekerjaan rumah kami untuk lima bulan ke depan," ungkap putra pelatih legendaris Sartono Anwar itu dikutip dari kompas.com. 

"Bagaimana kami lebih mempersiapkan pemain bukan hanya secara mental, tetapi secara skill individu mereka itu juga harus kami tingkatkan."

Apa yang tersaji di Jeddah semalam memang menunjukkan banyak hal evaluatif, terutama segi fisik yang kerap dikeluhkan pundit-pundit sepak bola dalam negeri.

Okelah, sembari berharap lima bulan bisa men-drill lagi fisik pemain sekaligus membuka ruang masuknya para pemain berpostur tinggi, tapi ada dua hal lain yang kudu dibenahi, rasa lapar dan staying-power.

Jalannya Laga Indonesia U-17 vs Korea Utara U-17

Sempat terbesit pemikiran subyektif kala Korea Utara disamakan kedudukan menjadi 2-2 oleh Oman di menit 90+8' saat laga pamungkas Grup D akhir pekan lalu. Hasil tersebut seketika mengirim mereka lolos sebagai runner-up, bisa diduga sebagai upaya menghindari pertemuan dengan Korea Selatan di perempatfinal dan "memilih" melawan Indonesia.

Apapun itu, ternyata pemikiran mereka berbanding lurus dengan hasil laga semalam. Korea Utara dengan mudah mematikan Indonesia sejak awal pertandingan lewat eksploitasi besar dari sisi set-piece dan fisikal.

Dua gol pertama Korea Utara bermula dari sepak pojok, saat menit ke-7' Choe Song-Hun mampu menaklukkan Dafa Al Gasemi lewat tembakan first time, lalu menit 20' Kapten Kim Yu-jin menceploskan bola dari jarak dekat usai membentur Mathew Baker.

Sesekali tusukan dilakukan oleh Zahaby Gholy dan Mierza Firjatullah di kotak penalti, namun babak pertama berakhir dengan keunggulan dua gol sang lawan. Salah satu indikator kesuksesan Korea Utara, mereka tidak membiarkan Gholy lama bermain dengan bola. Sekali putar langsung tebas.

Coach Nova langsung coba berbenah dengan memasukkan Aldyansyah Taher untuk gantikan gelandang Nazriel Alfaro. Namun ekploitasi bola atas dan second ball mengandalkan fisik, membuat Ri Kyong Bong mampu mencetak gol cepat di paruh kedua. Di titik inilah gestur pemain Garuda Asia sudah terlihat "kalah".

Berikutnya, penalti Kim Tae-guk gagal diantisipasi oleh Dafa di menit 60' usai Putu Panji didakwa wasit melakukan handsball di kotak terlarang.

Tidak sampai dua menit, aksi individual Ri Kang-rim di tengah kawalan empat bek Indonesia membuat hati penonton memelas. Tak cukup sampai disitu, lesakkan Pak Ju-won usai clearence tidak sempurna Fabio Azka membuat setengah lusin kebobolan menjadi penutup perjalanan Indonesia di Piala Asia U-17.

Kurangnya Rasa Lapar Berkompetisi?

Satu sisi pembahasan ini memang akan terdengar subyektif, namun bertujuan untuk menaikkan lagi level Indonesia di kancah sepakbola Asia. Ya, rasa puas karena sudah lolos Piala Dunia U-17 mungkin sudah berkecamuk di tengah angin kencang yang berhembus di lapangan outdoor King Abdullah Stadium.

Di laga semalam, terlihat bahwa Korea Utara tampak lebih lapar untuk meraih posisi setinggi mungkin pada Piala Asia U-17. Gertakan awal pasukan O Thae-song melengkapi kesiapan strategi mereka mengeksploitasi kelemahan kubu Indonesia.

Tertinggal dua gol di babak pertama, seharusnya bisa disikapi dengan bermain lebih menyerang di paruh kedua. Namun yang terjadi, sang lawan makin merajalela dan Garuda Asia terkesan minder justru di fase gugur ini.

Tentu tidak ada strategi lain yang bisa diberikan selain menyerang usai gol ketiga Korea Utara. Sayangnya, kurangnya rasa lapar berkompetisi usai tiga kemenangan beruntun di fase grup, membuat senyawa permainan Garuda Asia tidak keluar. Di mata pemain kurang terlihat kemarahan usai gwangnya digelontor lawan. 

Dan, dua gol dalam kurun dua menit membuyarkan semua mimpi menuju puncak Asia tahun ini.

Berkaca dari Staying-Power ala Korea Utara

Mungkin Indonesia sudah terbiasa untuk meladeni permainan negara Asia Barat karena seringnya bertemu Arab Saudi, Bahrain, dll serta adanya kesamaan fisik. Tetapi jika menghadapi negara seperti Korea Utara maupun Uzbekistan, jelas Garuda Asia masih belum menemukan solusinya. Level ketahanan mereka di atas Vietnam yang mengusung permainan serupa.

Korea Utara bermain dengan staying-power yang ditunjukkan sejak kick-off hingga akhir laga. Staying-power merujuk pada stamina, daya tahan, dan konsentrasi pada strategi spesifik untuk diterapkan di sebuah laga. Sedikit ruang untuk kebebasan.

Tangan pemain Korea Utara terlihat menggenggam keras saat berlari, rahang mereka terkatup rapat, dan kepala mereka selalu tegak di setiap duel. Skill individu boleh saja dimenangi oleh lawan, tetapi staying-power mereka menjadi sumber keyakinan bahwa satu tim bisa menundukkan siapapun lawannya.

Aliran bola akhirnya menjadi nyaman dari lini belakang, kedua sisi lapangan, hingga striker bongsor Ri Kang-rim mampu "menjajah" pertahanan Indonesia seorang diri. Angin di pihak Korea Utara ini tidak terjadi begitu saja, karena mereka membangunnya sejak awal laga.

Ini cukup kontras jika kita melihat gestur beberapa pemain Indonesia yang terlihat lunglai usai kebobolan. Hal fisik memang nyata menjadi kelemahan sejak awal kompetisi, namun semangat untuk bangkit tidak terlalu terlihat di laga ini. Titik itulah yang bisa kita soroti tajam.

Maka dari itu, berkaca pada lawan sejenis Korea Utara yang bakal banyak dihadapi di Piala Dunia U-17 nanti, Indonesia harus berbenah dari segala aspek. Ucapan selamat sudah terucap untuk kelolosan, namun hasil semalam tetap  berarti sebuah kekalahan berkompetisi.

Terimakasih atas perjuanganmu, Garuda Asia! Segera berbenah dan terbang lebih tinggi di Piala Dunia U-17 nanti!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun