Masalahnya, di balik klarifikasi dan permintaan maaf (jika ada), kinerja atau program konkret kadang sulit dilihat.
Masyarakat terus menuntut, di mana bukti nyata dari janji-janji atau pernyataan pejabat?
Contohnya dalam kasus Noel, publik mempertanyakan sampai sejauh mana program-program proteksi pekerja migran, ekonomi warga desa.
Termasuk di dalamnya, peningkatan lapangan kerja dibandingkan dengan banyaknya pernyataan yang viral namun hanya menyisakan kegundahan dan kegaduhan.
Contoh lain yang lebih umum, pejabat yang setelah kecaman publik menjalin klarifikasi publik, tetapi tidak ada kejelasan kapan atau bagaimana janji-program akan dilaksanakan atau diklarifikasi secara tertulis.
Ini membuat kepercayaan publik melemah, dan muncul persepsi bahwa “klarifikasi” hanyalah taktik meredam gelombang kritik, bukan komitmen terhadap perubahan.
Mengapa Pola Ini Tetap Bertahan?
Setidaknya, terdapat 3 faktor yang memicu pejabat berbicara duluan, baru klarifikasi kemudian.
Pertama, kepekaan media dan sorotan sosial media.
Sebuah pernyataan bisa langsung viral, maka pejabat merasa harus merespons cepat, meski belum matang pertimbangannya.
Kedua, politik persepsi.
Popularitas dan citra sering dianggap penting. Lebih mudah mencetak headline dengan pernyataan drastis dibanding kerja panjang yang jarang diberitakan.
Ketiga, risiko hukum dan politik.
Klarifikasi kadang dianggap lebih aman daripada langsung mengakui kesalahan atau minta maaf, yang bisa digunakan lawan politik.