Mohon tunggu...
Viride
Viride Mohon Tunggu... Buruh - penulis

Penulis tidak dapat menulis secepat pemerintah membuat perang; karena menulis membutuhkan pemikiran. - Bertolt Brecht (Penulis dari Jerman-Australia)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Alasan

1 Agustus 2018   09:12 Diperbarui: 1 Agustus 2018   10:48 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalian pasti sudah sering mendengar saat seseorang mengatakan, 'ada awal pasti ada akhir. Ada pertemuan pasti ada perpisahan'. Begitu pula dalam hubungan percintaan akan ada kata putus dan itu lumrah terjadi ketika rasa cinta dan kenyamanan sudah memudar. Hanya saja diperlukan sebuah alasan untuk memperjelas mengapa ikatan itu harus berakhir.

Sebuah alasan yang saat itu tidak diketahui oleh Maya mengapa kekasih hatinya mengeluarkan kata sakti menyakitkan untuk mengakhiri kisah cinta mereka.

"Maafkan aku, tapi kita harus putus!"

Ia kembali mengingat kalimat Andy yang berhasil diucapkan laki-laki itu dua malam yang lalu. Entah mengapa Andy datang dengan terburu-buru. Ia memang telah memberi kabar pada Maya kalau akan datang ke rumah perempuan itu, tapi tidak seperti biasanya, kehadirannya terakhir kali seolah mendesak dan tak bisa ditolak.

Bahkan setelah memberikan eksekusi mati pada hubungan mereka. Laki-laki itu hanya terdiam memandang wajah Maya. Ia hanya menggenggam tangan perempuan yang hampir setahun telah menemaninya mengisi hari-hari penuh cinta. 

Lalu menunduk dan membiarkan Maya menyerangnya dengan berbagai kalimat untuk meminta sebuah alasan mengapa ia begitu tega memutuskannya.


****

Sudah lebih dari satu jam, Maya mengamati dinding ruang tamunya yang berwarna putih gading. Tidak ada apa pun di sana, tentu saja, karena ia hanya sedang mencari-cari kunci jawaban tentang kisah cintanya yang telah usai. 

Sesekali ia terlihat menarik napas dan menghela pelan agar sesak di dada berkurang, laporan data kantor yang belum selesai dikerjakan terlihat sedang menunggu dalam layar laptop yang masih menyala. Benda canggih itu tampak tenang melekat di atas meja.

"Masih berpikir kenapa kalian putus?" Dela bertanya sambil ikut mendaratkan diri di kursi. Anak dari bibinya itu ikut-ikutan menghela napas, seakan masalah yang dialami Maya adalah miliknya.

"Kenapa dia begitu tega? Kalau memang ada yang salah dengan hubungan kami, harusnya semua bisa dibicarakan, bukan dengan cara seperti ini." Rahang Maya terlihat menekan kuat. Ia berusaha menahan air mata yang sejak tadi ingin tumpah, bukan karena malu di depan sepupunya, tapi merasa kalau saat itu bukan waktunya ia menangis.

Ada banyak pertanyaan yang harus segera terjawab agar teka teki kandasnya hubungannya dengan Andy bisa membuatnya menerima kalau cinta itu memang harus segera diakhiri.  Perempuan itu hanya menginginkan sebuah alasan. Dan itu harus alasan yang tepat.

"Mungkin kalian sudah tidak cocok satu sama lain?"

"Aku tidak yakin kalau itu alasannya. Tiap pasangan pasti tidak akan selalu menemukan kecocokan, karena yang dicari adalah saling pengertian," jawab Maya sambil kembali menghela napas dan seolah enggan terus menatap dinding ruang tamunya, perempuan itu terlihat memejamkan mata untuk menghilangkan kegusaran.

Seperti dihantui rasa penasaran yang gelap. Maya berusaha mencari tahu mengapa Andy memutuskan untuk berpisah. Ia tak ingin pasrah begitu saja menuruti keputusan kekasihnya yang dengan gampang melepaskan genggaman tangannya.

Perempuan itu yakin kalau masalah di antara mereka masih bisa dibicarakan. Bahkan dalam segala kemungkinan, kata putus tidak akan mengambil peran dari eksekusi sebuah cinta. Harapannya begitu besar menginginkan hubungan mereka baik-baik saja.

Maya berusaha menghubungi Andy melalui ponsel. Ia tahu laki-laki itu tak akan sudi menemuinya langsung, karena ultimatum terakhirnya adalah tidak ingin pertemuan terjadi lagi di antara mereka. Dan ia seharusnya sudah bisa menebak kalau jalan apa pun tidak bisa membuat laki-laki itu bicara walaupun hanya lewat jaringan telepon.

Siang itu di ruang tengah, Dela menatap gemas ke arah Maya yang beberapa hari belakangan terus memandangi layar ponselnya dan berulang kali memeriksa apa ada pesan masuk di sana. Bahkan saat makan, perempuan itu siaga dengan ponsel di tangan kiri dan sondok makan di tangan kanan.

"Sudahlah, Maya. Kau tak perlu menanyakan alasan apa pun padanya. Saat ini yang harus kau sadari, kalian sudah putus," katanya sambil mengarahkan remote ke arah televisi dan merubah chanel.

Maya yang sedari tadi berjalan pelan ke sana ke mari di samping Dela tampak tak peduli, sesekali matanya melirik ponsel yang dipegangnya.  "Aku hanya ingin tahu ada apa dengan hubungan kami. Dari kemarin dia tidak membalas pesanku, padahal sudah lebih dari 20 atau 50 kali aku mengiriminya pesan," ujarnya menampik ucapan sepupunya dengan keras kepala. Ia hanya menjawab tanpa menatap ke arah Dela.

Kekesalan Dela memuncak, karena ia terganggu melihat Maya yang terus mondar-mandir. "Tapi benda itu tidak bisa memberikanmu jawaban. Kau harus langsung bertemu dengan Andy." Kali ini jempolnya menekan-nekan kuat tombol remote seolah benda itu bisa melampiaskan rasa marah.

Maya menggeleng keras, ia lalu berhenti berjalan dan menatap sepupunya. "Tidak bisa, dia sudah melarangku, walaupun sekarang aku berdiri depan pintu rumahnya, dia tetap tidak akan muncul."

"Lalu harus bagaimana lagi? Laki-laki itu akan tetap diam, karena dia sudah tidak peduli. Jadi berhentilah melakukan hal-hal konyol!" Dela mendebat agar perempuan itu mau sedikit saja berpikir jernih tentang apa yang ia inginkan. Keningnya terlipat keras dengan urat leher yang tercetak jelas.

Maya menghela napas. Sekali lagi ditatapnya layar ponsel. "Ya, kau benar. Meski pun saat ini kutodongkan pistol di kepalanya, Andy tidak akan membuka suara sedikit pun." Ia lalu duduk dengan raut wajah datar. Suaranya terdengar tenang dan kedua tangannya dilipat di depan dada. Kemudian ditatapnya Dela yang terlihat menunggunya mengeluarkan kalimat.

"Dia tidak memberiku alasan mengapa memutuskan hubungan kami dan aku tidak ingin mati penasaran hanya karena ulah seorang laki-laki yang berusaha mati-matian meninggalkanku. Aku harus mencari tahu." Mata perempuan itu memperlihatkan keteguhan dan tidak secara langsung ia memberikan keyakinan pada Dela untuk membantunya.

"Oke baiklah, kau menang. Apa yang harus kita lakukan?"

Harapan terakhir Maya untuk tahu alasan Andy adalah melalui, Heri, sahabat laki-laki itu. Tidak perlu menunggu esok hari, malam itu juga ia bersama Dela sukses melajukan motor menuju rumah orang yang dimaksud.

"Maaf, menunggu lama. Ada urusan yang harus kuselesaikan." Heri kemudian duduk di depan kedua perempuan itu. Sesaat dipandangnya dua wajah serius yang seolah mengejarnya untuk menuntut sesuatu. "Jadi, ada urusan apa sampai kalian datang malam-malam begini?" sambungnya karena mulai merasa sesuatu yang tidak enak.

Maya langsung menceritakan pada Heri alasan keberadaan mereka. Saat menyentuh pokok masalah, perempuan itu bercerita dengan nada tegang, kadang sedikit berapi-api lalu terlihat memelas.

"Sebenarnya, aku sungguh tak tahu mengapa kalian putus, karena Andy sama sekali tidak cerita padaku."

Maya tahu kalau Heri berbohong. Sebagai sahabat yang sudah saling mengenal lama, tidak mungkin dua orang yang sedekat mereka tidak saling menceritakan masalah pribadi, walaupun hanya tentang urusan pacar.

 "Heri, aku sangat memerlukan pertolonganmu. Aku tahu kau mengetahui alasan mengapa Andy memutuskanku. Jangan biarkan aku terus mengejarmu untuk urusan yang sangat kau pahami. Kau tinggal mengatakannya padaku." Maya geram. Ia berusaha menekan mental Heri agar mau jujur padanya.

Untuk beberapa saat Heri terdiam. Maya paham kalau laki-laki itu sangat berat mengatakan sebuah alasan yang bisa jadi adalah rahasia terbesar Andy dan ia juga mengerti kalau Heri pasti sudah bersumpah untuk menjaga rahasia itu sampai mati. Namun jantungnya sudah tak bisa terpompa dengan normal lagi. Di depannya sebuah pintu sudah siap terbuka untuk memperlihatkan kebenaran yang selama ini ia cari.

"Aku tidak bisa memberitahukanmu sekarang ...."

Maya serasa ingin murka. Wajahnya memerah, tadinya ia berpikir, Heri akan membuat langkah hatinya meringan, tapi laki-laki itu malah memberi jawaban bersayap yang membuatnya ingin sekali membunuh dan mencacah tubuh laki-laki itu.

"Ya ampun. Tidak bisakah kau ...."

"Tunggulah tiga tahun lagi. Kau pasti mendapatkan jawaban." Heri memotong perkataan Maya dengan cepat.

Maya menarik napas panjang ia menunduk dan matanya terpejam. Sekuat tenaga ia berusaha menahan diri agar tidak mengeluarkan kalimat yang akan membuat Heri membencinya.

"Tiga tahun? Kau pikir semua akan berjalan mudah dengan menunggu selama itu? Aku begitu tersiksa karena rasa penarasan demi mencari sebuah alasan mengapa Andy memutuskanku?" Maya murka, kalimatnya cepat meluncur seperti swimming pool tanpa terhenti, matanya nanar menatap Heri, wajahnya menegang, tapi ia masih mampu menekan nada bicara.

Heri bisa memaklumi sikap orang di depannya, namun dengan tenang ia berusaha memberikan pengertian tentang waktu tiga tahun yang harus ditunggu perempuan itu.

"Dengar, aku paham perasaanmu saat ini, tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk memberitahumu, karena kau pasti tidak akan percaya."

"Aku akan menerima apapun risikonya." Maya menolak, kepalanya menggeleng keras. Menunggu sama saja membuatnya mati perlahan.

"Cuma ini cara satu-satunya supaya kau tahu apa alasan Andy, karena mau tidak mau menunggu adalah sikap yang harus kau lakukan. Aku tetap tidak bisa memberimu jawaban walaupun kau terus memaksa."

 "Tapi tiga tahun ... ya, Tuhan." Maya menggigit bibir dan hanya bisa tertunduk. Meski pun sebuah alasan diperlukan penjelasan. Maya tak menyangka begitu susah baginya untuk tahu mengapa ia dicampakkan?

TIGA TAHUN KEMUDIAN

Hari itu sudah cukup bagi Maya menunggu sebuah alasan yang pasti, mengapa Andy memutuskannya. Di ruang tamu rumah Heri, tampak ia dan Dela duduk dengan gelisah. 

Beberapa kali ia menarik napas panjang, matanya berputar-putar mengelilingi ruangan, terkadang ditatapnya wajah sepupunya yang juga terlihat kaku tanpa suara.

Heri yang memperhatikan perempuan itu dari tadi hanya bisa  terseyum datar. "Sabarlah, Maya. Sebentar lagi kau akan mendapatkan jawaban," ujarnya berusaha menenangkan.

Tak lama kemudian sebuah mobil Honda Jazz berwarna merah tampak berhenti di depan halaman, seorang perempuan belia turun dan melangkah anggun memasuki rumah. 

Rambutnya panjang tergerai ditata dengan indah, tubuhnya tinggi berbalut dress pendek tanpa lengan berwarna merah pastel sangat pas dengan kulitnya yang putih, tangan kanannya terlihat memegang tas mungil. Sosoknya sangat cantik dengan sepatu berhak tinggi. Heri, Maya dan Dela berdiri hampir bersamaan untuk menyambut tamu yang datang.

"Heri," panggilnya dengan senyum riang sambil mendekat ke arah laki-laki itu.

"Kami sudah lama menunggumu, apa kabar?" tanya Heri sambil ikut tersenyum lalu mereka bersalaman.

Sesaat Maya dan Dela saling berpandangan. Mereka bingung. Ditambah dengan ucapan Heri pada perempuan itu kalau mereka sudah lama menunggu.

Hawa tegang begitu mendominasi keadaan. Perempuan cantik itu perlahan mendekati Maya tanpa sedikit pun melepas pandangan. Langkahnya kelihatan berhati-hati seolah berjalan di atas batu tajam.

"Maya ...." Heri mulai gugup melontarkan kalimat. Ia menatap Maya dan perempuan cantik itu dengan detakan jantung yang berdebar keras. "Perkenalkan, dia Angelica," ucapnya saat perempuan cantik itu telah berdiri di samping Maya.

"Ya, aku Andy yang dulu." Perempuan itu menegaskan dengan tatapan meyakinkan.

Maya terkejut dengan mulut setengah terbuka, tapi dengan cepat dia tutup kembali. "Tidak mungkin. Kau tak perlu melakukan sandiwara kobohongan ini hanya untuk membuatku percaya." Maya menatap Heri dengan marah. Ia merasa seperti anak kecil yang dipermainkan. Logikanya tidak bisa menerima apa yang ada di hadapannya.

Hampir satu jam lebih Heri memberikan penjelasan kalau perempuan cantik yang kini bersama mereka adalah Andy. Berbagai bukti diperlihatkan laki-laki itu pada Maya. 

Dari video operasi sampai pada perubahan demi perubahan yang perlahan terjadi dan Andy sendiri pun berusaha membantu meyakinkan kalau ia adalah laki-laki yang dulu dicintai oleh Maya

Melihat secara pasti kalau semua itu bukanlah kebohongan, Heri hanya menelan ludah sambil memejam seakan tak berani menatap wajah Maya yang kini terkejut seperti melihat hantu.

TIGA TAHUN YANG LALU

"Aku sudah bertekad untuk memutuskan Maya." Malam itu Andy mendatangi Heri untuk memberitahukan sebuah keputusan penting yang akan mengubah seluruh kehidupannya.

"Kau yakin dengan keputusanmu?"

"Ya. Bersamanya tidak membuatku merasa seperti seorang laki-laki, tapi malah seperti saudara perempuannya."

"Maya sangat menyayangimu, apa kau tidak kasihan padanya?"

 "Aku tahu, tapi keputusan ini sudah lama kurencanakan. Tadinya kukira dengan berpacaran dengan Maya akan mengubah pikiranku untuk melakukan operasi, tapi ternyata ...." Andy terdiam, sesaat ia memikirkan hati perempuan yang sedang menunggu waktu untuk ia tinggalkan.

"Aku tidak tahan lagi berada di tubuh ini. Aku merasa terjebak dan ini bukan diriku." Wajahnya tertunduk lalu meneruskan kalimat, "setelah putus dari Maya, aku akan pergi ke Belanda selama tiga tahun, di sana aku akan menjadi orang yang baru dan bukan menjadi Andy lagi, setelah itu aku akan kembali untuk memberi Maya alasan yang pasti."

SELESAI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun