Dikatakan demikian, karena Megawati Soekarnoputri adalah Srikandi  Ibu Pertiwi, yang juga adalah "Wanita Besi Indonesia"  (yang tak sanggup dilawan oleh Rezim Orde Baru),  itulah yang menyelamatkan karir politik Jokowi dan Prabowo sampai ke tangga puncak kekuasaan di Indonesia.
 Sehubungan dengan hal itu maka, dapat dinarasikan bahwa, dalam kancah politik kilas balik di memori publik,  ketika terjadi gejolak Politik di Tanah Air pada tahun 1998 di awal era reformasi, kemudian karena satu dan lain hal, lalu Prabowo pergi  ke luar negeri dengan posisi dan status sebagai _statelessness_ di Negeri Orang,  yaitu di  Jordania, maka orang  yang berjasa memanggil Prabowo untuk pulang kembali ke Tanah Air Indonesia,  adalah Ibu Megawati Soekarnoputri.
Demikian juga dengan Joko Widodo, ketika masih sebagai Pengusaha Mebel dan "Tukang Kayu"  di Kota Surakarta, lalu  menjadi Walikota Solo, kemudian menjadi Gubernur DKI Jakarta dan menjadi  Presiden Republik Indonesia dua Periode, itu semua karena jasa baik dan  rekomendasi dari  Ibu Megawati Soekarnoputri melalui dukungan Partai PDI-P.
Oleh karena itu, secara nalar, cukup logis untuk dipahami bahwa, tanpa peran Ibu Megawati Soekarnoputri maka, kemarin dan hari ini, Joko Widodo dan Prabowo Subianto belum tentu menjadi Presiden Republik Indonesia.
Melalui cikal bakal kisah ini, dapat menjadi semacam baseline bagi kebersamaan keduanya dalam menjelajahi rimba raya politik di Tanah Air, sampai pada pertarungan keduanya dalam Pilpres 2019,  serta kolaborasinya dalam Pilpres  2024 yang menjadikan Prabowo sebagai Presiden dan "Putera Mahkota' Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden.
Dengan demikian, sejak saat itu, Prabowo dan Jokowi seolah seperti dua sisi dari satu mata uang, yang satu tidak bisa meniadakan yang lainnya. Bahkan dengan analogi yang demikian maka, justeru sebagian pihak di masyarakat menghendaki agar Prabowo dapat segera lepas dari bayang-bayang Jokowi sebagai mantan Presiden sebelumnya, dan Prabowo dapat menjadi Presiden Republik Indonesia secara bebas dan merdeka, serta dapat mengambil setiap keputusan politik dalam menjalankan roda pemerintahannya secara otentik, lugas dan terukur.
Tetapi fakta politik memperlihatkan bahwa, Prabowo sebagai seorang Presiden Republik Indonesia yang ke 8, dalam kesempatan tertentu justeru sowan ke Joko Widodo sebagai mantan Presiden, dan ketika sebagian masyarakat menyerukan Adili Jokowi !  Adili Jokowi !,  tetapi justeru  ketika Pidato Perayaan Hari Ulang Tahun Partai Gerindra, Prabowo menyerukan : Hidup Jokowi ! Hidup Jokowi !
Meskipun demikian, di hadapan publik  Tanah Air dan di Panggung Depan Politik Negeri ini, rupanya suasana hati itu, tidak selalu sama dengan situasi yang ada di Panggung Belakang Politik, karena selalu saja ada hasrat politik yang sangat berbeda seperti langit dengan bumi, karena dalam dunia politik praktis, berlaku juga adagium melankolis politik yang menyatakan bahwa, "dalamnya laut dapat diduga, dalamnya hati siapa yang tahu".
Dikatakan demikian karena,
berdasarkan perkembangan dan dinamika politik mutakhir,  paling tidak sejak Bulan  Februari 2025, terdapat indikasi bahwa Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo, sedang  berada di persimpangan jalan politik, pada posisi  "Satu Bantal Dua Mimpi', karena boleh jadi dan besar kemungkinan, keduanya  akan menempuh jalur politik yang berbeda menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2029.
Pasalnya, sejak masih di  "pagi hari"  dan belum genap  seumur jagung Prabowo duduk di Kursi Presiden Republik Indonesia, Partai Gerindra telah secara resmi mengumumkan pencalonan kembali Prabowo untuk Pilpres 2029. Pengumuman ini disampaikan dalam pertemuan Koalisi Indonesia Maju (KIM) di Padepokan Garuda Yaksa, Hambalang, Bogor, pada 14 Februari 2025.
Sementara itu, pengamat politik Rocky Gerung menyatakan bahwa keputusan Gerindra mencalonkan kembali Prabowo Subianto, dapat menimbulkan "kegelisahan" Â bagi Joko Widodo. Hal ini terkait dengan ambisi Jokowi untuk mendorong putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Presiden, agar maju sebagai calon presiden pada 2029. Namun, Gibran masih memerlukan dukungan partai politik sebagai kendaraan politiknya.