Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis

Penulis buku Pejuang Kenangan (2017), Hipotimia (2021) dan Ruang Ambivalensi (2025). Pemimpin Redaksi CV. TataKata Grafika. Aktif menulis artikel dan essai di berbagai platform digital.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Pada Akhirnya, Kita Pasti Sendirian

1 Oktober 2025   06:23 Diperbarui: 1 Oktober 2025   13:15 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Orang yang Sedang Menikmati Kesendirian (Sumber foto: pexels.com/chama)

Ada satu kalimat yang sering kali kita hindari untuk diucapkan, meski diam-diam mungkin kita mengakuinya dalam hati: kita pasti sendirian.

Kalimat sederhana itu bukan sekadar nasihat muram yang diulang-ulang oleh filsuf atau penyair-penyair patah hati.

Ia adalah kenyataan yang menempel di setiap helaan napas manusia, menunggu momen yang tepat untuk menunjukkan wujudnya secara terang benderang.

Kesendirian itu datang dalam banyak rupa. Ia tidak selalu menunggu kita sudah terbaring di liang lahat, ketika semua doa selesai dibacakan dan tanah merah menutup tubuh.

Sendiri itu kadang menyapa jauh lebih awal; mungkin di tengah keramaian pesta, saat orang lain tertawa riang tapi kita berpura-pura ikut menikmati suasananya.

Atau di ruang rapat, saat semua percakapan hanya tentang target, laporan, dan angka-angka, sementara hati kita penuh tanya yang tak pernah punya tempat untuk menumpahkannya.

Tapi orang-orang sering kali lupa, kesendirian sebenarnya bukanlah sebuah kutukan. Ia adalah keniscayaan. Sama halnya dengan rasa lapar, haus, dan mati.

Bedanya, kesendirian tidak selalu bisa kita akui dengan gamblang. Kita lebih suka menyebutnya dengan istilah-istilah lain. "me time", "butuh ruang", atau bahkan "healing", kata-kata itu tentu tidak asing, kan?

Mungkin saat kita mengucapkannya tidak pernah terpikirkan apapun. Tetapi, jika kita mau mencerna lebih dalam lagi, bukankah itu adalah istilah lain untuk sendirian?

Sebuah Privilege Bernama Keramaian

Ada satu ironi yang menarik. Pada zaman ini, kesendirian justru seringkali dianggap layaknya aib.

Kita sering kali sibuk memoles citra di halaman depan media sosial kita supaya tampak selalu bersama orang lain, agar dianggap gaul, selalu aktif, selalu punya kawan dan cerita.

Kita memuja-muja keramaian dan pesta, dan mengaitkannya dengan tanda-tanda keberhasilan hidup.

Tapi di balik semua unggahan itu, ada banyak orang yang mungkin mengetik caption-nya sambil menahan tangis.

Ada pula yang membangun panggung pertemanan semu hanya untuk menutupi kenyataan bahwa sebenarnya ia selalu kesepian di rumahnya, ia tetapi saat di keramaian ia tidak tahu harus bilang apa pada kawan dan dirinya sendiri yang sebenarnya telah meronta-ronta ingin segera pulang dan tidur semalaman untuk balas dendam.

Keramaian dan banyaknya kawan diperlakukan selayaknya privilege, padahal tidak semua orang bisa menikmatinya dengan benar-benar tulus.

Banyak dari kita sebenarnya mengikuti keramaian, hanya supaya kita tidak terlihat menyedihkan di mata orang lain. Padahal sebenarnya, jauh lebih menyedihkan kalau kita tidak pernah belajar tenang dan senang di dalam kesendirian.

Karena pada akhirnya, semua pertemuan memiliki akhir, dan semua kebisingan akan mereda. Yang tersisa hanyalah diri kita sendiri. Pada akhirnya, tak ada yang lebih setia selain diri kita sendiri, dan untuk kita sendiri.

Menghargai Kesendirian

Lalu, apakah kita siap menghadapi kesendirian?

Kebanyakan orang berusaha menghindarinya dengan bekerja lebih keras, bercakap lebih lama di telepon, atau pergi hangout dari malam sampai pagi, hanya untuk mengusir kesendiriannya. Padahal, menghadapi kesendirian bukan berarti kita harus menutup diri dari dunia.

Berani sendirian berarti berani berhenti sejenak dari semua keramaian, mendengarkan suara lembut di dalam hati yang seringkali kita abaikan, dan menerima sepenuhnya bahwa ada bagian hidup yang memang tidak bisa diisi oleh siapa pun, kecuali oleh kita sendiri.

Sendiri itu bukan berarti sepi. Sendiri bisa jadi ruang paling ramai, kalau kita mau masuk dengan jujur. Di sana ada tumpukan kenangan yang menuntut rekonsiliasi.

Ada luka lama yang menunggu untuk diberi nama. Ada mimpi-mimpi yang belum sempat dituliskan. Kesendirian memberi kita kesempatan untuk duduk bersama mereka, tanpa distraksi, tanpa basa-basi.

Merasa Sendirian di Tengah Kebersamaan

Ada momen-momen yang lebih menyakitkan daripada sekedar sendirian, yaitu merasa sendirian di tengah kebersamaan.

Perasaan itu bisa saja terjadi ketika kita tidak lagi nyambung dengan sebuah percakapan di tongkrongan. Saat orang lain tertawa karena hal-hal remeh, tapi kita merasa itu semua hambar saja.

Atau saat teman-teman terdekat kita tidak benar-benar mendengarkan curhatan kita, tapi mereka sebenarnya hanya menunggu giliran mereka untuk bicara dan mengatakan hal-hal yang klise.

Atau bisa juga hal yang paling umum terjadi dalam rumah tangga adalah saat pasangan yang tidur di ranjang yang sama sudah berubah menjadi sekadar rutinitas, bukan lagi jiwa yang saling terhubung satu sama lain.

Itu semua mengingatkan kita bahwa nyatanya kebersamaan fisik tidak berjalan seiringan dengan kebersamaan batin. Dan pada titik itu, kita akan belajar pelan-pelan tentang kesendirian sejati.

Kesendirian yang sejati, adalah ketika kita tidak lagi menemukan resonansi dengan siapa pun, selain hanya dengan diri kita sendiri. Bukan selfish, tetapi lebih ke lagi-lagi mencoba menerima kenyataan, bahwa tak ada yang bisa memenuhi hati kita, selain, ya diri kita sendiri.

Lantas Mengapa Kita Takut Sendirian?

Ada dua alasan besar kenapa semakin dewasa kita semakin sering overthinking akan kesendirian kita di masa depan.

Pertama, karena kita dibesarkan dengan narasi-narasi serupa propaganda, bahwa hidup yang baik adalah hidup yang ramai: punya banyak teman, banyak kenalan, banyak anak, dan banyak jaringan. Kita diajarkan bahwa kesendirian sama dengan kegagalan dalam hidup.

Kedua, karena sebenarnya kita takut berhadapan dengan diri kita sendiri.

Terlalu banyak hal yang kita sembunyikan dari mata publik, entah itu kekecewaan, rasa bersalah, keinginan terlarang, kemarahan yang sekian lama dipendam. Semua itu kita simpan rapat-rapat di dalam 'kotak aman emosi' selama kita sibuk di keramaian.

Tapi ketika waktunya sendirian, semua seakan muncul bersamaan ke permukaan. Tanpa ada penyaring dan penghalang. Bak monster yang siap melahap persona yang kita bangun di hadapan publik, ia serupa hantu yang merasuki kita di saat-saat yang kita anggap paling rapuh, yaitu saat kita sendirian.

Karenanya banyak orang yang khawatir dengan kesendiriannya, karena mungkin ia sadar ia takkan mampu mengendalikan sisi 'liar' dirinya saat berada dalam kesunyian.

Padahal, justru dengan belajar menerima diri sendiri dan mengambil kendali seutuhnya akan diri kita dalam sepi, kita bisa benar-benar merdeka dari semua pembatas-pembatas yang kita buat sendiri.

Kesendirian yang Terlalu Identik dengan Kematian

Kita semua pasti setuju, jika kematian adalah bentuk kesendirian paling absolut. Bahkan orang yang paling kita cintai sekali pun tidak akan bisa menemani kita sepenuhnya pada momen itu. Dalam momen itu mereka hanya bisa mengantar kita sampai ke depan 'pintu', sisanya kita jalani sendiri.

Kesadaran ini seharusnya membuat kita lebih tenang, bukan sebaliknya. Karena jika kita telah terbiasa berdamai dengan kesendirian sejak hidup, maka kematian rasanya tak akan lagi menakutkan, bukan?

Ia hanyalah seperti pintu lainnya yang harus kita lewati sendirian, seperti halnya kita lahir sendirian, menangis pertama kali sendirian, dan bahkan kita bermimpi pun sendirian.

Menjadikan Sendiri sebagai Seni

Daripada menghindarinya, mungkin sebaiknya kita perlu belajar menganggap kesendirian sebagai sebuah seni. Seni mendengarkan suara hati tanpa tergesa-gesa.

Seni membaca buku tanpa peduli siapa yang menulisnya. Seni menulis tanpa harus buru-buru diunggah. Seni berjalan tanpa tujuan lain, selain menikmati langkah, sendirian.

Jika kita mau memberi ruang pada kesendirian, ia bisa saja menjadi guru yang paling jujur. Ia memuji sesekali, tapi juga tidak ragu untuk sedikit menghakimi, sembari mengingatkan: "Inilah dirimu apa adanya. Apakah kamu siap menerimanya?"

Dan mungkin, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan semacam itu kiranya hanya bisa kita temukan ketika kita benar-benar sendirian.

Pada akhirnya, kita tidak bisa menawar lagi pada takdir. Kita lahir dan mati sendirian, kita pasti sendirian. Tidak peduli seberapa luas lingkaran sosial kita, seberapa dalam cinta kita pada pasangan, atau seberapa setianya seorang sahabat pada kita. Akan selalu ada bagian-bagian dari perjalanan hidup ini yang hanya bisa kita tempuh seorang diri.

Kesendirian itu bukan ancaman. Ia adalah latihan. Latihan untuk lebih jujur, lebih kuat, dan lebih manusiawi. Karena siapa pun kita, apapun yang kita capai, kita akan selalu kembali pada titik itu: duduk sendiri, menatap langit, lalu bertanya dalam hati, "Apa arti semua ini?" Dan jawabannya, suka atau tidak, harus kita temukan sendiri.

"Kesendirian bukanlah akhir, melainkan awal perjalanan paling jujur untuk melihat siapa diri kita sebenarnya tanpa topeng dan kosmetik sama sekali"

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun