Berani sendirian berarti berani berhenti sejenak dari semua keramaian, mendengarkan suara lembut di dalam hati yang seringkali kita abaikan, dan menerima sepenuhnya bahwa ada bagian hidup yang memang tidak bisa diisi oleh siapa pun, kecuali oleh kita sendiri.
Sendiri itu bukan berarti sepi. Sendiri bisa jadi ruang paling ramai, kalau kita mau masuk dengan jujur. Di sana ada tumpukan kenangan yang menuntut rekonsiliasi.
Ada luka lama yang menunggu untuk diberi nama. Ada mimpi-mimpi yang belum sempat dituliskan. Kesendirian memberi kita kesempatan untuk duduk bersama mereka, tanpa distraksi, tanpa basa-basi.
Merasa Sendirian di Tengah Kebersamaan
Ada momen-momen yang lebih menyakitkan daripada sekedar sendirian, yaitu merasa sendirian di tengah kebersamaan.
Perasaan itu bisa saja terjadi ketika kita tidak lagi nyambung dengan sebuah percakapan di tongkrongan. Saat orang lain tertawa karena hal-hal remeh, tapi kita merasa itu semua hambar saja.
Atau saat teman-teman terdekat kita tidak benar-benar mendengarkan curhatan kita, tapi mereka sebenarnya hanya menunggu giliran mereka untuk bicara dan mengatakan hal-hal yang klise.
Atau bisa juga hal yang paling umum terjadi dalam rumah tangga adalah saat pasangan yang tidur di ranjang yang sama sudah berubah menjadi sekadar rutinitas, bukan lagi jiwa yang saling terhubung satu sama lain.
Itu semua mengingatkan kita bahwa nyatanya kebersamaan fisik tidak berjalan seiringan dengan kebersamaan batin. Dan pada titik itu, kita akan belajar pelan-pelan tentang kesendirian sejati.
Kesendirian yang sejati, adalah ketika kita tidak lagi menemukan resonansi dengan siapa pun, selain hanya dengan diri kita sendiri. Bukan selfish, tetapi lebih ke lagi-lagi mencoba menerima kenyataan, bahwa tak ada yang bisa memenuhi hati kita, selain, ya diri kita sendiri.
Lantas Mengapa Kita Takut Sendirian?