Ada satu ironi yang menarik. Pada zaman ini, kesendirian justru seringkali dianggap layaknya aib.
Kita sering kali sibuk memoles citra di halaman depan media sosial kita supaya tampak selalu bersama orang lain, agar dianggap gaul, selalu aktif, selalu punya kawan dan cerita.
Kita memuja-muja keramaian dan pesta, dan mengaitkannya dengan tanda-tanda keberhasilan hidup.
Tapi di balik semua unggahan itu, ada banyak orang yang mungkin mengetik caption-nya sambil menahan tangis.
Ada pula yang membangun panggung pertemanan semu hanya untuk menutupi kenyataan bahwa sebenarnya ia selalu kesepian di rumahnya, ia tetapi saat di keramaian ia tidak tahu harus bilang apa pada kawan dan dirinya sendiri yang sebenarnya telah meronta-ronta ingin segera pulang dan tidur semalaman untuk balas dendam.
Keramaian dan banyaknya kawan diperlakukan selayaknya privilege, padahal tidak semua orang bisa menikmatinya dengan benar-benar tulus.
Banyak dari kita sebenarnya mengikuti keramaian, hanya supaya kita tidak terlihat menyedihkan di mata orang lain. Padahal sebenarnya, jauh lebih menyedihkan kalau kita tidak pernah belajar tenang dan senang di dalam kesendirian.
Karena pada akhirnya, semua pertemuan memiliki akhir, dan semua kebisingan akan mereda. Yang tersisa hanyalah diri kita sendiri. Pada akhirnya, tak ada yang lebih setia selain diri kita sendiri, dan untuk kita sendiri.
Menghargai Kesendirian
Lalu, apakah kita siap menghadapi kesendirian?
Kebanyakan orang berusaha menghindarinya dengan bekerja lebih keras, bercakap lebih lama di telepon, atau pergi hangout dari malam sampai pagi, hanya untuk mengusir kesendiriannya. Padahal, menghadapi kesendirian bukan berarti kita harus menutup diri dari dunia.