Menjadikan Sendiri sebagai Seni
Daripada menghindarinya, mungkin sebaiknya kita perlu belajar menganggap kesendirian sebagai sebuah seni. Seni mendengarkan suara hati tanpa tergesa-gesa.
Seni membaca buku tanpa peduli siapa yang menulisnya. Seni menulis tanpa harus buru-buru diunggah. Seni berjalan tanpa tujuan lain, selain menikmati langkah, sendirian.
Jika kita mau memberi ruang pada kesendirian, ia bisa saja menjadi guru yang paling jujur. Ia memuji sesekali, tapi juga tidak ragu untuk sedikit menghakimi, sembari mengingatkan: "Inilah dirimu apa adanya. Apakah kamu siap menerimanya?"
Dan mungkin, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan semacam itu kiranya hanya bisa kita temukan ketika kita benar-benar sendirian.
Pada akhirnya, kita tidak bisa menawar lagi pada takdir. Kita lahir dan mati sendirian, kita pasti sendirian. Tidak peduli seberapa luas lingkaran sosial kita, seberapa dalam cinta kita pada pasangan, atau seberapa setianya seorang sahabat pada kita. Akan selalu ada bagian-bagian dari perjalanan hidup ini yang hanya bisa kita tempuh seorang diri.
Kesendirian itu bukan ancaman. Ia adalah latihan. Latihan untuk lebih jujur, lebih kuat, dan lebih manusiawi. Karena siapa pun kita, apapun yang kita capai, kita akan selalu kembali pada titik itu: duduk sendiri, menatap langit, lalu bertanya dalam hati, "Apa arti semua ini?"Â Dan jawabannya, suka atau tidak, harus kita temukan sendiri.
"Kesendirian bukanlah akhir, melainkan awal perjalanan paling jujur untuk melihat siapa diri kita sebenarnya tanpa topeng dan kosmetik sama sekali"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI