Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis buku dan kolaborator media online.

Penulis buku Pejuang Kenangan (2017), Hipotimia (2021) dan Ruang Ambivalensi (2025). Pemimpin Redaksi CV. TataKata Grafika. Aktif menulis artikel dan essai di berbagai platform digital.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nirvana Fallacy: Ketika Kesempurnaan Menjadi Musuh Kebaikan

24 Juli 2025   12:34 Diperbarui: 24 Juli 2025   12:34 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anak Tangga. (Foto oleh Ravi Kant on pexels.com)

"Kalau solusi ini tidak bisa menyelesaikan semua masalah, lalu untuk apa dilakukan?"

Sekilas, kalimat seperti itu mungkin terdengar masuk akal, bahkan terkesan kritis. Tapi jika kita telisik lebih dalam, ada "jebakan logika" yang tersembunyi di balik pernyataan tersebut. Di tengah derasnya arus diskusi publik saat ini, mulai dari politik, ekonomi, hingga gaya hidup, tidak jarang kita menemukan orang yang menolak sebuah solusi hanya karena ia merasa solusi tersebut tidaklah sempurna. Seakan-akan, jika sebuah kebijakan, produk, atau tindakan tidak bisa menyelesaikan seluruh permasalahan secara tuntas, maka ia sama sekali tidak layak untuk dilakukan atau diambil.
Inilah yang disebut sebagai Nirvana Fallacy atau Kekeliruan Nirwana. Sebuah kesalahan berpikir yang membandingkan sebuah solusi nyata dengan versi ideal yang sempurna tetapi sering kali tidak realistis. Akibatnya, langkah-langkah baik dan masuk akal yang seharusnya dapat diambil atau diterapkan saat itu juga, sering kali ditolak hanya karena itu tidak mampu memenuhi standar "nirwana" atau ideal dalam pikiran mereka.

Apa itu Nirwana Fallacy
Secara sederhana, Nirvana Fallacy adalah kesalahan berpikir di mana seseorang menolak solusi yang realistis hanya karena dirasa solusi tersebut tidak sempurna dan kemudian membandingkannya dengan solusi ideal yang belum tentu bisa diterapkan, atau bahkan tidak mungkin ada. Alih-alih menimbang manfaat dan risiko secara proporsional, orang yang 'mengidap' Nirvana Fallacy menilai sesuatu berdasarkan harapan sempurna yang utopis.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Harold Demsetz, seorang ekonom yang mengkritik cara berpikir banyak pengambil kebijakan yang membandingkan kenyataan pasar bebas dengan versi ideal dari intervensi pemerintah, alih-alih membandingkannya dengan kemungkinan nyata dari kebijakan tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari, Nirvana Fallacy bisa kita temukan dengan sangat  mudah, tetapi kebanyakan orang tidak sadar kalau itu adalah sebuah keesesatan berpikir. Beberapa contohnya misal dapat kita temui dalam kalimat-kalimat seperti ini:

"Kalau vaksin tidak bisa 100% mencegah penyakit, ya lalu untuk apa kita suntik vaksin? Percuma saja, dong."

"Kalau belum semua orang buang sampah pada tempatnya, ya percuma saya sendirian peduli lingkungan."

"Kalau olahraga cuma bisa seminggu sekali, ya mending nggak usah sekalian."

"Buat apa bikin pengaturan keuangan, nggak ada gunanya, toh gaji segini nggak bakal cukup juga."

Bagaimana? Familiar dengan kalimat-kalimat itu?


Pola pikir seperti itu cenderung menuntut kesempurnaan mutlak dan mengabaikan bahwa dunia nyata berjalan lewat perbaikan bertahap, bukan lompatan besar yang langsung menuju ke kesempurnaan.
Nirvana Fallacy bukanlah kekeliruan yang hanya terjadi di ruang akademik atau debat politik tingkat tinggi, justru ia sering hadir dalam percakapan sehari-hari, baik di media sosial, obrolan santai, hingga keputusan pribadi.

Mengapa Nirvana Fallacy Adalah Kekeliruan yang Berbahaya?
Sekilas, Nirvana Fallacy terlihat seperti bentuk ketelitian, perfeksionisme atau standar tinggi. Namun, di balik itu tersembunyi sebuah bahaya besar: penolakan terhadap perbaikan nyata demi sebuah kesempurnaan imajiner.
Selain itu, sesat pikir ini juga dapat menghambat kemajuan. Karena dengan menuntut solusi yang sempurna sedari awal, Nirvana Fallacy menghentikan langkah-langkah kecil di awal yang bisa mengantarkan kita ke perubahan positif yang bertahap.
Yang kedua, Nirvana Fallacy akan melahirkan apatisme dan perlahan menganggapnya sebagai sebuah pembenaran. Ketika seseorang terus menuntut kesempurnaan, ia bisa jadi akhirnya tidak akan melakukan apa-apa, yang pada akhirnya akan menghambat tercapainya sebuah tujuan atau rencana.
Selain itu jika terjadi dalam sebuah diskusi atau debat, Nirwana Fallacy juga bisa menjadi alat retoris yang tidak jujur. Nirvana Fallacy akan dipakai untuk menjatuhkan argumen-argumen lawan tanpa menawarkan alternatif yang lebih baik. Hal ini sangat sering terjadi karena para 'pengidap' Nirvana Fallacy telah mengaburkan penilaian rasionalnya, entah disadari atau tidak disadarinya, sehingga orang-orang yang terjebak Nirvana Fallacy seringkali memakai standar utopis untuk menilai segalanya, termasuk argumen-argumen lawannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun