"Waktu adalah satu-satunya aset yang tidak bisa kita beli kembali. Uang bisa dicari, posisi bisa diraih lagi, bahkan hubungan bisa diperbaiki kembali, tapi waktu yang sudah lewat tak akan pernah bisa kembali apapun yang akan kita lakukan."
Kalimat seperti itu pasti sudah sering kita dengar, entah dari acara motivasi, iklan jam tangan, atau caption-caption di media sosial. Namun, di balik kalimat (yang sepertinya) bijak itu, ada sebuah 'propaganda' yang lebih dalam dan seringkali tidak kita sadari.
Kita sebenarnya sedang dipaksa, bahkan di-setting tanpa sadar untuk memaksa diri sendiri agar hidup semakin efisien, semakin produktif, dan semakin bermanfaat. Tapi bermanfaat yang dimaksud di sini adalah bermanfaat menurut standar yang ditetapkan oleh masyarakat modern.
Pertanyaannya kemudian apakah efisiensi dan produktivitas itu benar-benar membuat hidup kita jadi lebih baik? Ataukah kita justru terjebak dalam ilusi, bahwa dengan mempercepat langkah, kita otomatis akan semakin cepat mendekati kebahagiaan?
Waktu yang Hilang, Hidup yang Tergesa
Setiap hari, setiap pagi, sebelum sempat menyadari aroma kopi yang mengepul di cangkir, tangan kita sudah meraih ponsel. Cek satu-satu notifikasi yang kita tinggalkan semalam, email menumpuk, pesan kerjaan masuk lebih cepat daripada sinar matahari menyapa jendela. Begitulah rutinitas pagi hampir semua orang di masa kini. Bahkan sebelum badan benar-benar bangun, pikirannya sudah lari maraton.
Hari-hari dijalani dengan sesaknya target, jadwal rapat, dan revisi demi revisi. Jam makan siang bukan lagi momen untuk benar-benar makan, melainkan kesempatan curi-curi waktu untuk membalas pesan atau menyelesaikan revisian. Apa itu istirahat? Dunia kerja modern tidak lagi mengenal istirahat, bung!
Pulang kerja pun seringkali masih dibayangi oleh pekerjaan di kantor yang belum (atau tak akan mungkin) selesai. Bahkan di atas kasur, tak jarang kita buka laptop dan pikiran masih harus dihantui oleh daftar hal-hal yang harus dilakukan besok pagi.
Rasanya kita hidup dalam rasa tergesa yang konstan. Tidak ada habisnya, kecemasan demi kecemasan. Ironisnya, semakin banyak teknologi canggih yang katanya 'menghemat waktu' yang kita miliki, malah rasanya waktu semakin cepat berlalu. 24 jam tidak lagi terasa panjang seperti dulu.
Ada sebuah paradoks yang terjadi sebenarnya dalam rangkaian kejadian tadi. Paradoksnya adalah ketika kita terus berusaha mengefisienkan hidup, yang hilang bukan sekadar jam atau menit, tapi kualitas kehadiran kita di dalamnya yang juga menurun.