Saat ini senyum bukan lagi sekadar gerak bibir untuk menggambarkan suasana yang ada di dalam hati. Ia sudah berubah jadi tuntutan sosial. Dalam dunia kerja, media sosial, bahkan lingkaran pertemanan, senyum seolah menjadi kartu identitas bahwa kita "baik-baik saja." Bahkan ketika dada terasa sesak dan kepala sedang penuh sampai mau meledak, orang-orang akan berkata, "Ayo, semangat! Jangan sedih, dong!" Seolah-olah memiliki emosi negatif adalah sebuah dosa.
Fenomena ini punya nama yang terdengar manis, tapi merusak perlahan-lahan: toxic positivity.
Sebuah pola pikir yang menuntut kita untuk selalu positif, bukan karena kita memang sedang bahagia, tapi karena ketidakbahagiaan dianggap seolah mengganggu "pemandangan."
Ketika "Ikhlas" Jadi Perintah, Bukan Pilihan
Pernahkah Anda mengalami saat Anda sedang curhat ke seseorang, ujung-ujungnya malah ia malah berkata "Ya sudah, ikhlasin aja!?"
Kalimat ini sekilas terdengar bijak, memang, tapi sering kali menghapus validitas rasa sakit dan sedih yang sedang hati kita rasakan.
Seakan-akan kesedihan itu hanya sebuah batu kerikil kecil di jalanan, padahal bisa jadi bagi si orang yang sedang merasakannya dan curhat tadi, itu adalah batu besar yang sudah lama menghimpit dada dan perasaan mereka, kan?
Ikhlas, semangat, atau berpikir positif seharusnya tumbuh dari dalam, atas kesadaran sendiri, bukan dipaksakan dari luar. Namun toxic positivity menjadikannya sebuah perintah moral, dan perintah harus dituruti. Kita dipaksa tersenyum agar lingkungan tetap nyaman, meski hati kita sendiri sedang berantakan dan tidak nyaman.
Media Sosial Sebagai Etalase "Happy Only"
Coba sekarang Anda buka Instagram atau TikTok. Saya rasa tidak sulit untuk menemukan konten-konten motivasi, quotes-quotes manis, dan video orang tersenyum sambil berkata "Kamu kuat, kamu pasti bisa!" Saya rasa, algoritma kita semua pasti sama. Kalimat-kalimat tadi jika dianalogikan itu rasanya seperti kita sedang minum sirup manis yang kebanyakan gula. Padahal, dalam kehidupan nyata, tentu ada hari-hari ketika kita tidak kuat menjalani dan menghadapi tantangan-tantangan, ada hari kita bisa melewati semuanya walau tetap babak belur tapi terselesaikan. Itu sebenar-benarnya adalah wajar.
Entah kenapa rasanya algoritma media sosial saat ini seolah lebih menyukai kebahagiaan yang dipoles. Senyum, tawa, dan ucapan positif menjadi konten yang "ramah pasar", Sementara itu, unggahan tentang kegagalan atau rasa sakit sering dianggap "mengeluh" atau "drama".
Akhirnya, orang jadi berlomba-lomba menampilkan kebahagiaan palsu di sosmed mereka, karena takut dianggap lemah.
Bahaya di Balik Senyum Palsu
Toxic positivity bukan hanya membuat kita lelah secara emosional, tapi juga berbahaya dalam jangka panjang. Ketika kita terus menekan rasa sedih, marah, atau kecewa demi terlihat positif di mata orang lain, maka emosi itu akan mencari jalan keluar lain, bisa dengan timbulnya kecemasan berlebihan, stres kronis, bahkan depresi. Analoginya mirip seperti jika kita mengocok minuman bersoda yang masih rapat tertutup. Apa yang terjadi jika Anda membukanya? Tentu, isinya akan meledak keluar dari botol akibat meningkatnya tekanan soda di dalam botol. Bahkan ledakannya bisa jauh lebih dahsyat daripada apabila kita membiarkan isinya keluar mengalir sedikit demi sedikit.
Membedakan Positivitas Sehat dan Positivitas Beracun
Positivitas sehat membuat kita bisa menerima kenyataan hidup, lalu mencari langkah yang diperlukan untuk menghadapinya. Sedang Positivitas beracun mengabaikan kenyataan, lalu memaksa kita untuk melompat ke tahap "bahagia" tanpa harus melalui proses.
Contoh perbedaan sikapnya kurang lebih seperti ini jika dalam penggunaannya :