Barista kafe manatapku heran ketika dua pesanan minuman itu diantarkan ke meja. Satu pistachio latte less sugar kesukaanku, dan dark chocolate tanpa gula yang selalu jadi pilihan Kira.Â
Mungkin barista itu menganggap aku sebagai orang aneh karena memesan dua minuman sekaligus padahal hanya satu pria muda saja yang menempati meja. Sementara Kira, yang sedang kulihat saat ini hanya sosok tak kasat mata yang tidak bisa dilihat oleh orang lain.
Hanya aku. Hanya aku saja.
Teguk demi teguk kopi perlahan kuminum sambil membuka tablet, sementara milik Kira masih utuh tanpa sentuh. Kami bertatapan serius seakan ada hal penting yang mesti dibicarakan.
"Sampai kapan kamu menganggap aku selalu ada di samping kamu?" tanya perempuan berambut sebahu itu pelan.
Aku yang saat itu sedang mengetik sesuatu di tablet android 7 inch ini sempat menatapnya sesaat, kemudian memfokuskan kembali konsentrasi pada gawai ini.
"Aku nggak nyata, Mahardika," katanya kemudian menekankan. "Kamu cuma orang gila yang menciptakan aku sebagai karya fiksi kamu."
Untung suasana kafe sore itu sedang tidak ramai, apalagi aku mengambil tempat outdoor di mana tidak ada orang lain di sini selain kami. Oh, atau lebih tepatnya selain diriku sendiri.
"Kamu itu nyata, bukan sekadar imajinasi aku," jawabku meyakinkan.
Kemudian, aku mengingat kembali awal pertemuan nyata itu. Di sebuah premiere salah satu film lokal yang juga mendatangkan para pemainnya secara langsung ketika film selesai. Aku menghadiri acara itu sebagai bahan ulasanku untuk ditulis di blog, juga dalam format video yang nanti kuunggah di TikTok.
Bangku kelima dari atas dekat tangga, di sanalah tempat dudukku yang bersebelahan dengan perempuan ini. Dia yang duluan mengajakku kenalan saat lampu bioskop menyala di akhir film. Perkenalan singkat itu kemudian berlanjut pada obrolan ringan soal kehidupan pada senja yang semakin jingga. Di sanalah pertama kalinya aku tahu dia sangat menyukai dark chocolate tanpa gula.
"Kapan-kapan kita ngopi lagi sambil bahas film. Gimana?" tanyaku yang menemukan sinyal baik pada pertemuan pertama itu.
Sampai aku sadar bahwa itu hanya kenangan setengah tahun lalu yang justru jadi pertemuan pertama juga terakhir dengan Kira. Lalu sosoknya hadir kembali yang hanya bisa hidup dan dilihat oleh diriku sendiri. Tapi, dia seolah tidak menyukainya dan secara tak langsung menginginkan aku untuk benar-benar menghilangkan segala hal tentang dia.
***
Pakaian serba hitam, lengkap dengan kacamata untuk menutupi mata yang bengkak ini karena menangis semalaman, menjadi yang kukenakan di pemakaman yang dihadiri banyak orang. Peti berisi kekasihku itu sepenuhnya telah masuk ke tanah merah, dikubur dalam-dalam, lalu ditutup taburan bunga pada permukaannya.
Aku di sana tanpa banyak berucap. Hanya sedikit ngobrol pada keluarga besar, kemudian kembali pulang ke rumah untuk menyalahkan diri.
Harusnya aku punya waktu untuk menjemput dia, bukan menolak dan membiarkannya naik ojek online yang menyebabkannya kecelakaan hebat. Aku bodoh dan tak bisa berhenti menyalahkan diri sendiri atas keteledoran ini.
"Aku bukan Naura, Dik," kata Kira yang memecahkan kenanganku beberapa tahun lalu itu. "Aku masih hidup layaknya kamu. Tapi, kamu malah jadikan aku pelampiasan atas kematian pacar kamu."
"Cukup, Kira! Cukup!" seruku setengah berteriak, memancing Barista tadi datang ke meja untuk memastikan keadaanku yang seakan sedang bertengkar seorang diri. Aku hanya tersenyum sebagai jawaban bahwa diri ini masih baik-baik saja.
Setelah Barista kembali ke tempatnya bekerja, memori ini kembali memutar lambat sebuah kenangan. Tentang aku yang masih dihantui rasa bersalah, juga tentang Kira yang secara fisik dan sifat nyaris menyerupai Naura.
Aku jatuh hati pada Kira saat pandangan pertama, atau lebih tepatnya jatuh hati kembali pada Naura yang berada pada fisik orang lain. Orang lain akan menyebut ini gila, dan kuakui itu, bahwa selama ini masih terobsesi pada Naura dan menganggapnya telah hidup kembali.
"Kamu tahu kenapa kamu kayak gini?" tanya Kira kemudian. "Ini karena kamu udah 2 hari nggak minum obat dari psikiater."
***
Waktu itu, ketika aku sedang mencoba mendekati Kira dengan percaya dirinya bahwa ia juga menyukaiku, aku malah mendapat kabar bahwa ia dilamar seseorang. Dia sempat cerita bahwa laki-laki itu ialah sahabatnya sendiri yang telah dikenal lama olehnya. Aku mengucapkan selamat, tapi sesungguhnya aku hancur pada kali kedua.
Ada undangan pernikahan yang dikirimkan via Whatsapp, tapi aku berpura-pura sedang ke luar kota pada tanggal tersebut untuk sengaja menghindarinya. Maka aku tidak pernah bertemu lagi dengannya seakan pertemuan pertama di bioskop itu jadi pertemuan terakhir.
"Dan pada akhirnya kamu menganggap aku ada di sini, selalu bersama kamu, bahkan ketika tidur sekalipun."
"Kira, kamu nggak perlu memperjelas semuanya," jawabku pelan tapi dengan penekanan.
"Kalau gitu kamu harus sadar bahwa kita punya kehidupan masing-masing. Dan aku yang kamu lihat saat ini, nggak lebih dari sekadar efek karena kamu sengaja nggak minum obat."
Ya, dia benar. Aku memang sengaja tidak minum obat dari psikiater untuk kembali menjumpai perempuan ini. Entahlah, beberapa hal di pekerjaan membuatku stres, hingga aku butuh orang untuk bersandar.
Pada akhirnya, bukan Naura yang aku ciptakan pada imaji ini karena aku tahu bahwa sampai kapanpun dia tidak akan pernah kembali. Maka, sosok Kira lah yang aku ciptakan dengan khayal bahwa ia selalu ada bersamaku di manapun itu.
Gila? Tentu saja aku menyadarinya dengan kesadaran penuh.
"Mahardika, kamu tahu kenapa aku bisa bicara seperti ini? Itu karena jauh di lubuk hati kamu, kamu juga ingin sembuh. Kamu ingin bebas dari semua kegilaan ini."
Aku diam, melihat layar tablet di mana kubuat sebuah cerita pendek tentang pria muda yang kehilangan kekasih, lalu menciptakan kembali sosok kekasihnya yang tidak bisa dilihat orang lain. Lebih tepatnya, ini kisahku sendiri yang akan kuunggah ke blog milikku.
Dan di akhir cerita, aku membuat kisah pria itu yang pada akhirnya sadar bahwa selama ini tindakannya jauh melewati batas. Ia ingin hidup normal, bertemu kawan yang nyata, serta tetap melanjutkan hobinya menulis dan mengulas soal film.
Di detik itu, aku mengeluarkan beberapa obat dari tas. Menelannya untuk mengikuti jejak pria fiksi yang sudah kuselesaikan.
"Makasih, Mahardika," kata Kira dengan senyum teduhnya. "Selanjutnya, jalani kehidupan kamu sendiri. Tanpa aku."
Tak lama setelah itu, sosok Kira perlahan menghilang. Secangkir dark chocolate tanpa gula yang tadi dipesan benar-benar masih utuh. Aku di sini, sendirian, mencoba melangkah memulai hidup yang nyata.
Bukan sekadar imajinasi.
IMAJI SUNYI SETELAH KITA SELESAI - SELESAI
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI