"Kamu tahu kenapa kamu kayak gini?" tanya Kira kemudian. "Ini karena kamu udah 2 hari nggak minum obat dari psikiater."
***
Waktu itu, ketika aku sedang mencoba mendekati Kira dengan percaya dirinya bahwa ia juga menyukaiku, aku malah mendapat kabar bahwa ia dilamar seseorang. Dia sempat cerita bahwa laki-laki itu ialah sahabatnya sendiri yang telah dikenal lama olehnya. Aku mengucapkan selamat, tapi sesungguhnya aku hancur pada kali kedua.
Ada undangan pernikahan yang dikirimkan via Whatsapp, tapi aku berpura-pura sedang ke luar kota pada tanggal tersebut untuk sengaja menghindarinya. Maka aku tidak pernah bertemu lagi dengannya seakan pertemuan pertama di bioskop itu jadi pertemuan terakhir.
"Dan pada akhirnya kamu menganggap aku ada di sini, selalu bersama kamu, bahkan ketika tidur sekalipun."
"Kira, kamu nggak perlu memperjelas semuanya," jawabku pelan tapi dengan penekanan.
"Kalau gitu kamu harus sadar bahwa kita punya kehidupan masing-masing. Dan aku yang kamu lihat saat ini, nggak lebih dari sekadar efek karena kamu sengaja nggak minum obat."
Ya, dia benar. Aku memang sengaja tidak minum obat dari psikiater untuk kembali menjumpai perempuan ini. Entahlah, beberapa hal di pekerjaan membuatku stres, hingga aku butuh orang untuk bersandar.
Pada akhirnya, bukan Naura yang aku ciptakan pada imaji ini karena aku tahu bahwa sampai kapanpun dia tidak akan pernah kembali. Maka, sosok Kira lah yang aku ciptakan dengan khayal bahwa ia selalu ada bersamaku di manapun itu.
Gila? Tentu saja aku menyadarinya dengan kesadaran penuh.
"Mahardika, kamu tahu kenapa aku bisa bicara seperti ini? Itu karena jauh di lubuk hati kamu, kamu juga ingin sembuh. Kamu ingin bebas dari semua kegilaan ini."