Kata orang,
cinta tumbuh dari kata-kata.
Tapi kata-kata kami malah tumbuh jadi tembok.
Kadang tembok Berlin.
Kadang tembok kamar kos.
Kami sudah saling bicara selama bertahun-tahun.
Lewat chat, kopi, mie rebus,
bahkan lewat diam yang pura-pura sibuk.
Tapi begitu bibir kami hampir bersentuhan,
selalu saja ada debat kecil:
"Ini ciuman atau diskusi?"
Baca juga:Â Daun yang Lupa Jatuh
Kadang aku bilang:
"Sudah, diam saja. Rasakan."
Tapi dia malah nyebut pasal-pasal:
"Ciuman tanpa kesepakatan itu pelanggaran HAM kecil."
Pernah sekali hampir terjadi.
Sudah miring kepala tujuh derajat.
Sudah pejam mata seperempat.
Eh dia malah tanya,
"Kamu yakin ini bukan nafsu?"
Lalu aku buka mata,
dan di antara dua bibir kami,
muncul suara:
"Besok saja, ya."
Baca juga:Â Surat Cinta yang Ditulis dengan Pensil Mata
Begitulah kami,
dua bibir yang pandai merangkai puisi,
tapi gagal menjahit satu kecupan.
Kata temanku,
"Ciuman itu bukan soal teknik, tapi keberanian."
Tapi kami malah sibuk membahas tata cara mundur diam-diam.
Kalau pun bibir kami bersatu,
mungkin mulut kami tetap saling berbisik:
"Ini cuma uji coba. Belum final."
Kini kami sudah tak sering bertemu.
Tapi kalau ingat dia,
aku sering mengetuk bibir sendiri,
dan bertanya pelan:
"Kamu masih ingat rencana yang tak jadi itu?"
Pasar Minggu, 2025