Aku tak tahu, aku hanya tahu ini sudah berlalu
bahkan aku tak sempat menitip salam padamu
karena ke engganan waktu.
Satu hari aku terbangun dengan rasa pilu
menyesakkan dada dan mengguncang kalbu
semuanya lenyap bahkan tak sisakan rindu
kini di matamu mungkin aku hanya nun mati dalam idgham billagunah
mungkin terlalu banyak metafora dalam satu cerita
aku hanya pribadi yang penuh hiperbola
hanya saja, aku tak dapat bertahan lebih lama
hingga ku dengar kabar angin yang membawa dirimu pada dirinya
Hanya sepuluh kaki ku perhatikan dirimu, melalui sudut sempit mataku
perlahan tanganmu tak bisa lepas dari Blackberry yang menggenggam jemari lentikmu.
Dalam hatiku, ada seseorang yang bertanya : "tidakkah kau cemburu?"
Aku tak tahu siapa yang bertanya, namun aku tahu untuk apa aku bertanya pada diriku
sebuah tamparan keras, tapi tak ada yang menampar
aku tak berhak untuk itu, untuk apapun tentangmu, pun atau sekedar cemburu
Dalam ruangan persegi, antara aku disisi kiri dan kau disisi kanan.
Mungkinkah ini rasanya ada Tembok Berlin diantara dua Jerman?
Kini aku hanya sebatang kaktus, ditengah padang tandus
Bisa saja aku bertahan hingga abad berhitung sampai seratus
bertahan tanpa status sebelumnya, hancurkan semua rasa yang tulus
namun apalah artinya, bila semua ternyata hanya fatamorgana
ku kira kau akan ada disana, terus disana.
sampai akhirnya...
Aku dibutakan terik matahari, yang fana terlihat nyata
Kini, pagi hari disini tak ubahnya seperti pagi di Normandia tanggal 6 Juni 1944
kau dan aku memang belum melihat dunia hari itu
tapi cobalah kau membaca, cobalah. Agar kau mengetahui apa yang terjadi
Hatiku masih menanti, meski aku sekarat dan hampir mati
Aku tak tahu apa yang akan terjadi dua belas jam setelahnya
saat bintang dan rembulan masih tetap bercengkrama
aku berkata dalam benakku, malam datang, pria lain pun datang
Tinggalkan semua kata selamat malam dalam bahasa Jerman
Aku berharap aku hidup dibelahan dunia yang lain,
agar aku tak perlu memecahkan kembali Perang Dingin
bahkan dunia pun hanya terlibat dua kali perang, dan satu kali terancam perang
sementara kita sudah empat kali perang. Mungkinkah kau masih membuka maaf untukku?
Masihkah kau duduk satu meja denganku, dengan sepotong daging bakar diatas hot plate?
Haruskah kita saling menandatangani perjanjian damai?
bukan sekedar gencatan senjata yang tak abadi.
Tapi satu hal yang kau harus tahu akan abadi, sesuatu dalam hati ini...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI