Ada orang yang lahir di rumah sakit dengan kamar berpendingin udara. Tinggal di rumah bagus dan halaman luas. Dibesarkan oleh orang tua yang mengerti pentingnya sarapan dan sekolah bilingual. Buku bacaan baru setiap bulan. Kursus musik, kursus bahasa, les privat, semua datang sebelum diminta.
Ada pula anak yang lahir dengan bantuan tangan dukun bayi, beralas tikar di rumah berdinding anyaman. Mereka bukannya tidak mau belajar, tapi malam mereka penuh suara tikus berlari dan pelita yang nyala-mati tak terprediksi. Buku bekas dipakai bergantian dan waktu belajar sering diganti dengan jadwal jaga warung dan gerobak dagangan.
Mereka sama-sama hidup, tapi beda tarikan napas.
Yang satu menghela napas karena bingung memilih universitas luar atau dalam negeri, sedang yang lain menahan napas tiap akhir bulan, bingung SPP bulan ini mau dibayar dengan uang dari mana lagi.
Hari-hari ini, yang tidur di kasur empuk seringkali heran melihat mereka yang tidur beralas tikar masih terlelap saat matahari sudah gagah bersiap. Yang mereka tidak tahu, bahwa bangun dan tidur beralas tikar bukanlah soal jam, tapi soal luka-luka di punggung dan sisa hujan semalam yang menusuk tulang. Meremukkan bukan hanya fisik, tapi terkadang mental yang terlalu sering direndahkan hanya karena mereka dianggap lamban dan malas.
Tapi memang begitulah cara dunia bekerja. Mereka yang lahir dengan kecepatan penuh, sering lupa menoleh ke belakang. Padahal tidak semua orang gagal dan miskin itu orang malas, sebagian hanya belum sempat beristirahat dari medan perang kehidupan yang terlalu berat. Saking beratnya hingga tapak langkah mereka pelan sekali untuk mencapai garis finishnya.
Di media sosial, kita sering membaca kutipan-kutipan seperti "Semua orang punya kesempatan yang sama. Tinggal mau atau tidak." Sekilas kalimat-kalimat motivasional seperti ini terasa benar-benar saja. Padahal, kalimat-kalimat seperti itu hanya benar bagi mereka yang tak pernah tahu rasanya tidak punya apa-apa. Bagaimana bisa keluar kalimat "semua punya kesempatan yang sama" padahal jelas-jelas dari sisi pendidikan saja kesempatan mereka yang punya segalanya jauh lebih bervariasi daripada yang tidak punya apa-apa. Bahkan kesempatan untuk bersantai setelah sekolah saja sudah berbeda. Mereka yang tidak punya uang, harus banting tulang setelah sekolah untuk bisa makan malam. Sedangkan anak orang kaya itu tinggal rebahan, sejam kemudian makanan datang dibawakan ojol langganan.
"Jangan ngeluh terus, saya aja bisa."
Ya, kamu bisa...
Karena kamu tidak perlu kerja dua shift untuk bantu bayar kuliah.
Karena kamu bisa memilih passion kuliahmu tanpa dihantui tagihan spp sekolah adik.
Disitulah masalahnya. Keberhasilan sering jadi panggung, tapi asal-usul dan latar belakangnya selalu ditutup rapat di balik layar. Mereka yang paling keras bersuara tentang perjuangan, seringkali adalah yang paling malas melihat kenyataan. Mereka hanya akan bilang "Kalau mau, semua juga bisa" tapi tidak semua orang-orang itu memulai perjuangannya benar-benar dari titik nol. Mana ada orang bilang mulai dari titik nol tapi menyebarkan cerita ketika bapak ibunya bangkrut mereka pergi sekeluarga ke Amerika dan pulang lagi ke Indonesia lalu bikin usaha?
Sedangkan sebagian orang yang mereka sebut miskin dan malas itu seringkali memulai semuanya tidak hanya dari nol, tapi bahkan dari minus. Minus akses, minus arahan, minus dukungan, minus kesempatan.
"Saya bekerja keras untuk mendapatkan semunya."
Ya, tentu. Semua juga bekerja keras untuk apa yang diinginkannya. Tapi kerja kerasnya berbeda, sekali lagi, titik awalnya beda, bentuk dan bebannya juga beda. Yang satu dibekali peta, bekal serta jaminan kegagalan, yang satu hanya berbekal nekat dan insting bertahan hidup. Ini bukan soal iri. Ini soal adil dalam memulai dan menilai.