Mohon tunggu...
gemintang
gemintang Mohon Tunggu... Arsitek - beri aku kertas dan pena, kan kulukis wajah dan kuceritakan kisahnya

mulai saja, sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiga Burung Kecil

21 Oktober 2020   00:46 Diperbarui: 21 Oktober 2020   13:19 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Akan kutebus kesalahanku, tunggu di sini" mantap kujawab. Aku berlari menuju tanah tandus di depanku. Tepatnya, aku tak tahu harus kemana. Dan sesungguhnya aku tak yakin bisa menemukan cermai-cermai lain, atau cacing-cacing yang kepanasan, atau juga serangga segar di balik kulit-kulit kayu. Di bawah terik aku menerobos udara yang kering.

Satu jam berlalu tanpa hasil. Aku seperti menghabisi nyawaku sendiri di tanah yang sebentar lagi akan terbakar ini. Fatamorgana yang melambai-lambai menipu mataku akan sungai deras yang jernih. 

Aku membayangkan dua temanku yang sedang menunggu, tunggu! Teman? oh, pasti tidak buat mereka. Aku mengubah mimpi buruk ini menjadi malapetaka yang nyata. Tertunduk aku meringkuk, jari-jari kakiku menjadi sangat kerdil, kukunya pecah dan buluku lusuh seperti lampin busuk.

"Menjauhlah! Shooh!" teriak sebuah suara. Aku terperanjat.

Seorang manusia mengendarai truknya tepat ke arahku. Aaa! Belum sempat aku menghindar, tubuhku terpelanting jatuh, aku pitam dan merintih. 

Samar-samar, ia meninggalkan truk besar berisi gentong-gentong yang meninggalkan tumpahan air di atas tanah yang tandus, ia berlari tergopoh-gopoh mendapatkanku.

"Oh, burung kecil. Bertahanlah" ia menimangku dalam telapak tangannya yang besar. Ia memeriksa sayap dan tengkukku, syukurlah aku baik-baik saja.

"Kau pasti kepanasan, daratan ini tidak menjanjikan apapun lagi sobat.. ayo, minum" disodorkannya air sebelum meletakkan remah-remah roti di dekat paruhku. Oh ibu induk, betapa beruntungnya aku..

Manusia itu menyandarkan tubuhnya pada sisi truk yang teduh, ia menghela nafas panjang. Ia lelaki yang tinggi dan besar, seperti raksasa. Sementara aku, burung kecil yang seketika saja bisa lumat dalam kepalannya. 

Meski lusuh, wajahnya cakap seperti pangeran, pastilah ia lelah berkeliling padang tandus ini seharian. Matahari yang terik belum juga selesai, aku hampir saja ikut tertidur di bawah bayang-bayang gentong saat suara-suara yang mengoyak gendang telinga bergantian mengusik keheningan.

"Cit! Citt! Cittt!" burung-burung itu mengitari si manusia yang sudah terlelap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun