Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Karena Nulis di K Pernah Disuruh Kabur dan Gak Bisa Tidur

26 Oktober 2017   23:37 Diperbarui: 31 Oktober 2017   21:43 1495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awalnya saya mengetahui Kompasiana karena "jalan-jalan" ke Kompasdotcom. Lalu mengelik tulisan "Kompasiana" yang tertaut, dan kemudian melihat-lihat tulisannya. Seru-seru. Lama-kelamaan saya pun ingin menulis, karena dulu saat sekolah pernah teledor menyebut cita-cita jadi penulis. Saya sebenarnya senyum sendiri mengingat kejadian itu.

Bulan April tahun lalu saya pun mendaftarkan akun. Jadilah saya merasa sah sebagai Kompasianer, bukan lagi Kompasianer silent reader.

Mungkin dalam hal menayangkan tulisan pertama sensasinya rada sama dengan rekan Kompasianer lainnya---ragu (sampai sekarang masih). Alasan saya ragu memulai karena belum paham tata cara menulis dan apa yang saya tulis takut tidak menarik. Namun, karena tidak ada yang kenal, merem aja sambil klik tombol tayang, sudah.

Yang membuat saya betah mungkin juga sama dengan lainnya, ada admin memberi penilaian (label) dan kalau beruntung diedit sedikit-sedikit. Jadi sebenarnya, pertama-tama saya sedih kalau admin tidak memberi cap sakti itu. Selanjutnya tak apa juga, karena untuk mendapat "pengakuan" itu ada keritrianya.

Karena, sekali-kali ada tulisan saya dihargai highlight, selain jadi pembaca saya pun jadi candu menulis, tulisan yang kadang setelah tayang saya juga mengaku ngasal jika membaca ulang. Maka, kalau ada yang bilang saya bukan Kompasianer setia itu cukup keterlaluan (hehe), sebab kalau ada paket internet dan sinyal saya tidak pernah alpa berlayar (kadang memang tidak log in).

Setelah lebih dari satu tahun menjadi bagian Kompasiana, tentu pasti ada kenangan yang mungkin sulit (bisa juga mustahil) untuk dilupakan. Yang paling membekas, seperti judul (1) pernah disuruh lari dan (2) pernah ketakutan hingga sulit tidur. Aneh bukan? Berikut alasannya:


Disuruh lari

Bulan Agustus lalu saya membaca-baca Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kabupaten Gayo Lues. Di situ saya lihat ada pengadaan Mulsa Plastik oleh Dinas Pertanian. Karena Kampung saya bisa dikatakan salah satu lumbung Cabai di Gayo Lues, maka saya pun bertanya-tanya pada para petani, ada tidak yang sudah mengajukan proposal.

Namun apa, mereka malah tidak tau sama sekali, bahkan informasinya saja belum tau apalagi cara pengajuannya. Lantas saya pun bertanya pada Pengulu (Kepala Desa), beliau pun mengaku tidak tau. Darinya saya tau kalau Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) juga sudah gak pernah hadir. Padahal, seharusnya bisa tanya dari dia, terangnya. Kemudian saya pun bertanya pada Petani, memang sudah lama gak pernah datang, malah sebagian ada yang tidak tau tampangnya pun.

Karena saya tidak ada kontak dengan orang pertanian. Juga tidak punya "Kartu" hingga takut ditolak jika mencari keterangan langsung ke Dinas, saya langsung bertanya terbuka (menulis) di Kompasiana. Ini tulisannya: Masih adakah Penyuluh Pertanian di Gayo Lues?

Sebenarnya bukan tidak bisa mencari tau ke Dinas bersangkutan, sebab di Facebook berteman dengan Kepala Dinasnya, melainkan karena rasa dongkolnya lebih dulu membuncah.

Rupanya, sungguh tidak diduga. Biasanya tulisan yang saya share ke Facebook diapresiasi, bahkan Kepala Dinas pertanian juga pernah menyanjung. Tapi tulisan itu menjadi polemik di kalangan Penyuluh. Tulisannya memang beraroma kritik.

Jadi ceritanya ada yang tidak terima, merasa sangat sangat sangat dirugikan, sebab sudah mengaku kerja benar (padahal kalau tidak merasa gak usah pusing, gampang). Beberapa Nomor baru langsung menggetarkan Hp saya (tidak tau dapat dari mana). Kepala Bidang Penyuluhan langsung ingin bertemu.

Saya yang belum pernah dianggap sepenting itu jelas gemetar. Saya pun mengadu ke teman-teman. Ada yang bilang bahaya akan menimpa saya, menyarankan ganti Nomor dan saran yang paling membuat kejadian itu akan sulit dilupakan karena ada yang nyuruh saya lari, kabur.

Saran yang terakhir itu memang saya pertimbangkan. Namun menurut saya percuma. Pihak yang merasa dirugikan sudah tau saya seutuhnya kok. Paling kalau lari dari masalah, akan menjadi masalah bagi keluarga saya, hemat saya.

Pas bertemu, walau kesan garang dengan semprotan kata-kata toh akhirnya tidak apa-apa. Saya pun hanya bertanya mana yang salah, walau pun tulisan itu sudah hapal salah satu dari mereka saya minta membaca ulang. Jadi pertemuan itu saya anggap hanya basa-basi sebuah perkenalan belaka. Aman. Tidak ada apa-apa, padahal saya sudah disuruh lari. Haha.

Sejak itu saya sangat setuju dengan apa yang dikatakan pendiri Kompasiana, Bapak Pepih Nugraha, kalau Kompasiana benar sebagai media Whistle Blower paling berpengaruh, sebab salah satu teman mengatakan nama saya dibawa-bawa di acara pelatihan. Keren bukan? Haha.

Tidak Bisa tidur

Pada hakekatnya sebuah tulisan yang banyak pembaca akan memberikan sensasi tersendiri bagi penulisnya. Seperti yang dirasakan oleh Kompasianer Mbak Awan Kemulus saat tulisannya merambah 5000 pembaca. Saya juga sama persis dengan Mbak Efa itu. Rasanya "gimana gitu" kalau banyak yang klik dan begitu pula sebaliknya rasanya gimana gitu (gak semangat, hehe).

Selama bergabung di Kompasiana, dalam catatan statistik sudah ada 174 tulisan (175 dengan ini) yang tayang (mungkin banyak yang gak jelas). Diantaranya ada 90 masuk pilihan dan 11 Headline. Dari kesemua itu, tidak ada yang melebihi dari 5000 pembaca, kecuali satu yang lebih dari 50000 ribu pembaca. Ya tepat sekali Lima-Puluh-Ribu-Lebih pembaca. Wow. Ini tulisannya: Alasan mengapa Ganja masih tumbuh subur di Aceh.

screenshoots
screenshoots
Tentu saja seharusnya saya bangga dan terbawa mimpi. Saya bukan kompasianer Asaro Lahagu yang pernah saya lihat dalam sehari menembus 350 ribuan pembaca. Pula bukan Kompasianer Pakde Kartono yang meski tulisannya berbau selangkangan tapi jumlah kliknya jutaan.

Bayangkan, tercatat di statistik akun saya ada 97 ribuan dibaca atau 557 per artikel, tapi tulisan itu malah menyedot 50 ribu lebih. Besar sekali ketimpangannya bukan?.

Sekali lagi seharusnya saya bangga dan terbawa mimpi sebab tulisan itu. Benar memang hari pertama dan kedua cukup membuat saya senyum-senyum sendiri, karena sudah tembus 4 ribuan pembaca. Sebab itu, karena banyak yang komentar "miring" saya membuat artikel ini: Dilema Petani Ganja Gayo Lues sebelum Pensiun, niatnya untuk membetulkan kekeliruan orang diluar daerah Gayo Lues. Tidak sempat tanyang karena belum selesai.

Tapi apa, tiba-tiba, ada yang bertanya kenapa saya menulis itu. Saya bertanya balik, emang kenapa? Wong Mantan Camat Blangkejeren aja nulis. Kenapa kita gak boleh (masih pede). Kata orang ada yang ditangkap karena posting ganja di Facebook, tambahnya. Masih belum peduli.

Di hari selanjutnya Pembaca tulisan itu sudah melonjak 30 ribuan. Bukan senang malah was-was. Ada yang ganjil ini, pikir saya. Karena tulisan itu Headline, pasti di share admin. Saya pun memeriksa akun Facebook Kompasiana, dan benar banyak sekali yang like juga.

Nah, di situ saya mulai keki sama admin. Saya teringat mendiang Kompasianer Reva Putra Sugito dulu sering menuduh admin main curang (mediang: bukan orangnya tapi akunnya, kalau orang mah tidak, setelah dibanned lahir kembali akun serupa kok, hehe) karena tidak adil dalam hal share tulisan yang menyebabkan perbedaan jumlah hit. Maka, lonjakan pembaca itu saya tuding didalangi admin.

Hari selanjutnya sudah mencapai 50 ribuan, kemudian stagnan sampai sekarang. Saya pun bertanya pada teman yang bekerja di media. Katanya, loh berani kamu tulis tentang ganja. Wah sial, desis saya. Bukan kasih solusi malah menakut-nakuti.

Karena itu beberapa hari saya gak bisa tidur sebelum lewat tengah malam. Menduga-duga apa yang terjadi besok. Kalau hanya dimintai keterangan pihak polisi sih saya gak takut. Yang menghantui saya mafia ganja mencokok saya malam itu juga. Serem bukan?

Sebenarnya pingin menghapus postingan yang menakutkan itu, tapi karena sayang banyak pembacanya dan konon rekam jejak digital tidak bisa terhapus serta seperti tulisan Kompasianer Bang Bo menerangkan "ini zamannya screenshots" maka saya memilih membiarkan saja sambil menguatkan diri dengan kata "badai pasti berlalu"---ini dilebih-lebihkan, hehe.

Seminggu setelah tulisan itu tayang karena keadaan tetap kondusif maka tulisan kedua tadi saya tayangkan. Dan saya masih bisa menuliskan tulisan ini.

Dan saya kira cukup, daripada kepanjangan.

Selamat Ulang Tahun Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun