Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pendongeng Hitam: Demo 4 November 2016 Buah dari Operasi Senyap "Dwitunggal Jokowi-Ahok"

4 November 2016   07:49 Diperbarui: 4 November 2016   08:43 6265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak awal pemerintahan Jokowi, entah sudah berapa banyak artikel yang diposting di Kompasiana tentang adanya upaya untuk me-Libya-kan atau men-Suriah-kan Indonesia. Upaya-upaya itu terlihat sangat jelas, baik di dunia maya maupun di dunia nyata.

Sejak akhir 2014 sudah terlihat ada upaya untuk membenturkan kebhinekaan dengan cara mengadu domba antar etnis. Puncaknya terjadi jelang 20 Mei 2015 di mana ada sekelompok orang yang gencar menghasut lewat propaganda anti-asing, anti-aseng, dan anti-asong.

Kemudian propaganda tersebut bergeser menjadi konflik Sunni-Syiah. Pada 3 Desember 2015, menurut Luhut Panjaitan yang ketika itu menjabat sebagai Menkopolhukam, ada  rencana penyeangan terhadap penganut Syiah di Indonesia. Upaya membenturkan Sunni-Syiah nampak jelas dari rencana mendatangkan Syeik Arifi yang dikenal sebagai provokator konflik Sunni-Syiah.

Sebagai “warga negara” dunia internasional, Indonesia tidak mungkin lepas dari konflik global antara Blok Barat dan Blok Timur. Terlebih Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas dan didukung oleh kekayaan alam yang melimpah. Dan, kebetulan juga wilayah Indonesia berhadapan langsung dengan Laut Tiongkok Selatan yang saat ini sedang memanas.

Akan tetapi, upaya untuk me-Libya-kan atau men-Suriah-kan Indonesia selalu mentok. Tidak ada puntu masuk untuk menciptakan proxy war lewat upaya tersebut. Persatuan rakyat Indonesia terlalu kuat untuk diruntuhkan. Personel TNI pun tidak mungkin melancarkan kudeta sebagaimana yang terjadi di Libya dan Suriah. Namun demikian upaya memecah belah anak bangsa ini tidak pernah surut.

Jokowi harus ditumbangkan. Kalau tidak tumbang di tengah jalan, kalahkan saat Pilpres 2019. Begitu target salah satu kelompok yang cenderung memihak salah satu blok. Tetapi, mengalahkan Jokowi dalam pemilihan langsung bukan pekerjaan mudah. Pada Pilpres 2019 yang rencananya digelar serentak dengan Pileg 2019 nanti, Jokowi akan maju sebagai capres petahana. Elektabilitas Jokowi pastinya lebih tinggi dari calon lainnya. Demikian juga dengan kepuasan atas kinerjanya.

Untuk merontokkan elektabilitas Jokowi tersebut dibangunlah persepsi buruk tentang Jokowi. Salah satunya adalah dengan cara melekateratkan Jokowi dengan sosok kontroversial. Maka, dipropagandakanlah dwitunggal Jokowi-Ahok. Bahkan kemudian disebarkanlah sebuah wacana kalau pada Pilpres 2019 nanti Jokowi akan maju berpasangan dengan Ahok sebagai cawapresnya.

Persepsi dwitunggal Jokowi-Ahok ini ternyata langsung dilahap oleh pendukung Jokowi tanpa menaruh kecurigaan sedikit pun. Dengan penuh kebanggaan yang dipenuhi nilai-nilai kepahlawanan, para pendukung Jokowi malah turut menguatkan persepsi ini.

Para pendukung Jokowi tidak sadar kalau melekateratkan Jokowi dengan Ahok yang kontroversial merupakan ancaman bagi elektabilitas Jokowi. Ahok adalah sosok kontroversial yang lebih kontroversial ketimbang Ruhut Sitompul. Fahri Hamzah, Fadli Zon, bahkan Nikita Mirzani.

Dengan melekateratkan Jokowi dengan Ahok yang penuh kontroversi, sama saja dengan memposisikan Jokowi dalam sasaran tembak. Serangan terhadap Ahok, merupakan serangan kepada Jokowi sebagai dwitunggalnya. Menariknya, serangan kepada Jokowi, bukan berarti menyerang Ahok.

Kemudian muncullah skandal Sumber Waras. Dalam menangani kasus ini KPK mendadak main sulap dengan memunculkan niat jahat sebagai acuan. Tentu saja dengan patokan niat jahat tersebut Ahok akan lolos dari jerat kasus Tipikor. Bagaimana pun korupsi adalah kejahatan kerah putih yang dilakukan oleh orang-orang cerdas. Dengan adanya niat jahat, maka KPK makin kesulitan untuk membuktikan seseorang melakukan tindak pidana korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun