Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pendongeng Hitam: Demo 4 November 2016 Buah dari Operasi Senyap "Dwitunggal Jokowi-Ahok"

4 November 2016   07:49 Diperbarui: 4 November 2016   08:43 6265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menurut KPK, BPK menemukan 6 penyimpangan dalam transaksi lahan Sumber Waras. Tetapi, karena KPK tidak menemukan niat jahat dalam transaksi tersebut, maka kasus Sumber Waras tidak dapat dilanjutkan. Menariknya, kasus ini berakhir dengan kompromi di mana KPK dan BPK saling menghargai sikapnya masing-masing. Tetapi, yang menjadi pertanyaan, kenapa baru dalam kasus yang menjerat Ahok, KPK ujug-ujug menghadirkan niat jahat sebagai patokannya dalam menindaklanjuti kasus korupsi.

Selain kasus Sumber Waras, KPK pun kedodoran dalam menindaklanjuti kasus reklamasi. Setelah melakukan OTT terhadap Sanusi pada 31 Maret 2016, KPK mengatakan akan ada tersangka baru. Pernyataan itu dilontarkan KPK pada 5 April 2016 dan ditegaskan kembali pada 25 April 2016. Tetapi, faktanya sampai tujuh bulan berlalu belum ada satu pun nama tersangka baru yang diumumkan.

Kenapa KPK melepas Ahok dalam kasus Sumber Waras hanya dengan dalih tidak ditemukannya niat jahat? Dan, kenapa KPK melempem saat menangani kasus-kasus lainnya yang diduga menjerat Ahok? Apa kaitannya dengan Jokowi?

Dengan melepaskan Ahok, maka akan timbul persepsi kalau Jokowi sebagai Presiden melindungi Ahok. Persepsi inilah yang terus dikuatkan dan terus digoreng serta dihembuskan untuk merontokkan elektabilitas Jokowi. Dan saat ini, isu ketidakadilan yang disasarkan kepada Jokowi terbukti ampuh menimbulkan kemarahan rakyat.

Jangankan yang dilandasi oleh sebuah fakta, hanya dengan bisik-bisik hoax pun persepsi mudah dibangun. Buktinya persepsi tentang kecurangan Pilpres 2014. Sekalipun kecurangan itu tidak ada dan hanya tudingan yang berbau fitnah, tetapi sampai sekarang masih dipercaya kebenarannya. Memang benar, kebohongan yang dihembuskan secara terus menerus akan diterima sebagai sebuah kebenaran. 

Jelang Pilkada DKI 2017 ini, isu kecurangan pun dihembuskan. Jokowi kembali disasar sebagai oknum yang ambil bagian dalam kecurangan yang diarahankan untuk memenangkan Ahok. Dan entah siapa yang mengatur, saat meninjau proyek, secara vulgar Jokowi berjalan berduaan dengan Ahok Tentu saja kejadian tersebut semakin menguatkan persepsi dwitunggal Jokowi-Ahok. Pastinya, kejadian jalan-jalan berduaannya Jokowi-Ahok bukan terjadi secara spontanitas, karena protokoler sudah mengetahuinya.

Para pendukung Jokowi dan para pendukung Ahok berdalih kejadian tersebut wajar karena Jokowi datang ke proyek sebagai Presiden RI, sementara Ahok sebagai Gubernur DKI di mana proyek itu dikalankan. Katanya, secara protokoler Presiden RI harus didampingi kepala daerah setiap meninjau proyek. Benar, kalau didampingi. Tetapi, apakah ada aturan yang menyebut Presiden RI jalan-jalan berduaan dengan kepala daerah di lokasi proyek yang ditinjaunya.  Di tengah-tengah kontestasi Pilkada DKI, tentu saja jalan-jalan berdua Jokowi-Ahok menumbuhkan persepsi buruk terhadap Jokowi.

Kalau diperhatikan ada yang berbeda dengan Pilkada DKI 2017 dengan pilkada-pilkada lainnya. Pada pilkada lainnya, serangan hanya ditujukan kepada pasangan calo, timses, dan orang-orang di sekitarnya. Tetapi, dalam  Pilgub DKI 2017 serangan juga ditujukan kepada calon pemilih. Calon pemilih yang tidak mendukung ahok dikata-katai sebagai pro-begal APBD, pro-koruptor, pro-kekumuhan, dan seterusnya. Belum lagi lewat kata-kata kasar yang disebar lewat sosial media. Inilah yang menimbulkan kemarahan rakyat kepada Ahok. Kemarahan juga ditujukan kepada Jokowi yang diketahui sebagai pendukung Ahok.

Upaya merontokan Jokowi tidak hanya dilancarkan lewat persepsi “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas”, tetapi juga dengan membentuk persepsi kalau Jokowi merupakan orang yang sangat ambisius. Caranya dengan memajang baliho-baliho “Jokowi Capres 2019”. Tentu saja kemunculan baliho-baliho tersebut mandatangkan cibiran bagi Jokowi. Bagaimana tidak, belum genap 2 tahun menduduki kursi kepresidenan, apalagi Pilpres 2019 masih sekitar 3 tahun lagi, Jokowi sudah mengkampanyekan dirinya.

Pilkada DKI merupakan momen yang tepat untuk menghajar Jokowi. Itulah kenapa baliho “Jokowi Capres 2019” disebar saat perhatian publik tertuju ke ibu kota. Itu juga momen yang tepat untuk lebih melekateratkan Jokowi dengan Ahok, sosok kontroversial.

Tiba-tiba, jelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila, Ahok sang tokoh kontroversial itu secara tidak sengaja mengucapkan kalimat yang memancing kemarahan. Bukan saja warga Ibu Kota Jakarta, tapi di berbagai daerah di seluruh tanah air. Kesalahan Ahok adalah kesalahan Jokowi. Nama Jokowi pun ikut terseret dalam kasus ini. Bukan hanya sebagai kepala negara, tetapi juga sebagai dwitunggal bagi Ahok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun