Selain itu ada rekonvensi, yaitu gugatan balik yang diajukan tergugat kepada penggugat dalam perkara yang sama. Misalnya, dalam perkara perceraian, suami sebagai tergugat dapat menggugat balik istri dengan tuntutan lain, seperti hak asuh anak atau harta bersama.
Bab ini juga menjelaskan tentang putusan verstek,yaitu putusan yang dijatuhkan jika tergugat tidak hadir meskipun telah dipanggil secara sah. Dalam hal ini, hakim dapat memutus perkara berdasarkan bukti dari penggugat saja.
Kemudian dijelaskan pula tentang sita jamin, yaitu tindakan pengadilan untuk mengamankan barang milik tergugat agar tidak dijual atau dialihkan sebelum perkara selesai. Ini bertujuan melindungi hak penggugat jika nantinya ia menang di pengadilan.
Terakhir, dibahas mengenai keterangan ahli, yaitu pendapat profesional yang diminta hakim untuk membantu memahami hal-hal teknis dalam perkara. Misalnya, dalam sengketa perbankan syariah, hakim bisa meminta pendapat ahli ekonomi Islam.
Melalui bab ini, pembaca bisa memahami bahwa proses hukum tidak selalu berjalan lurus, melainkan bisa menghadapi berbagai situasi yang perlu solusi hukum tambahan. Namun semuanya tetap diarahkan agar proses peradilan berjalan adil, transparan, dan sesuai prosedur.Secara keseluruhan, Bab VI hingga Bab VIII menunjukkan bagaimana Pengadilan Agama bekerja secara komprehensif,tidak hanya memutus perkara, tetapi juga melindungi hak-hak umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Buku ini menuntun pembaca memahami bahwa hukum bukan sekadar aturan, melainkan sarana mencapai keadilan yang seimbang antara kepentingan individu dan kemaslahatan bersama.
Bab IX menjelaskan tentang penyitaan (sita)bdan eksekusi, yaitu dua hal penting dalam proses penegakan hukum di Pengadilan Agama. Bab ini menunjukkan bagaimana keputusan hakim bisa benar-benar dijalankan di dunia nyata, bukan hanya berhenti di atas kertas.Penyitaan dilakukan untuk mengamankan barang atau harta yang sedang disengketakan agar tidak dipindah tangankan sebelum putusan hakim keluar. Tujuannya agar hak pihak yang menang di pengadilan nanti tetap terlindungi.
Ada beberapa jenis sita yang dibahas. Pertama, sita revindikasi,yaitu penyitaan atas barang yang diklaim sebagai milik penggugat namun sedang dikuasai oleh pihak lain. Kedua, sita jaminan, yaitu tindakan penyitaan sementara terhadap barang tergugat agar tidak dijual atau disembunyikan selama proses sidang berjalan. Ketiga, sita marital, yang dilakukan dalam perkara suami istri, terutama terkait harta bersama selama pernikahan. Dan keempat, sita eksekusi, yaitu penyitaan yang dilakukan setelah putusan pengadilan sudah memiliki kekuatan hukum tetap dan hendak dilaksanakan.
Setelah proses penyitaan, langkah berikutnya adalah eksekusi. Eksekusi berarti melaksanakan isi putusan pengadilan. Misalnya, jika pengadilan memutuskan bahwa seseorang harus menyerahkan sebagian harta kepada mantan pasangannya, maka pengadilan bisa memerintahkan juru sita untuk mengeksekusi keputusan itu.
Bab ini menegaskan bahwa eksekusi adalah tahap akhir yang menunjukkan kekuatan hukum sesungguhnya dari sebuah putusan. Tanpa eksekusi, keputusan hakim tidak akan berarti apa-apa. Karena itu, eksekusi dilakukan dengan hati-hati dan berdasarkan peraturan yang ketat agar tidak menimbulkan ketidakadilan baru.
Bab X membahas tentang pemberian kuasa dalam proses berperkara di Pengadilan Agama. Tidak semua orang memahami seluk-beluk hukum, karena itu hukum memberi hak kepada seseorang untuk diwakili oleh kuasa hukum, biasanya seorang advokat.Bagian awal bab ini menjelaskan pengertian kuasa,yaitu wewenang yang diberikan seseorang kepada orang lain untuk bertindak atas namanya dalam perkara hukum. Pemberian kuasa ini dilakukan dengan surat resmi yang disebut surat kuasa khusus.Orang yang memberi kuasa disebut pemberi kuasa,sedangkan yang menerima disebut penerima kuasa. Kuasa bisa diberikan kepada pengacara, penasihat hukum, atau bahkan anggota keluarga, selama memenuhi syarat hukum.Dalam proses pengadilan, kuasa hukum bertugas mewakili kliennya dalam seluruh tahapan perkara, mulai dari mengajukan gugatan, menghadiri sidang, memberikan keterangan, hingga menerima putusan. Namun, pemberi kuasa tetap bertanggung jawab atas tindakan kuasanya, karena secara hukum kuasa hanya bertindak mewakili, bukan menggantikan.
Bab ini juga menjelaskan macam-macam kuasa, seperti kuasa umum (untuk urusan biasa) dan kuasa khusus (untuk perkara tertentu di pengadilan). Dalam konteks peradilan agama, yang digunakan adalah kuasa khusus karena hanya berlaku untuk satu perkara tertentu.Kuasa hukum dapat berakhir karena berbagai hal, misalnya perkara telah selesai, pemberi kuasa meninggal dunia, atau kuasa dicabut. Prinsipnya, pemberian kuasa adalah bentuk kerja sama antara klien dan wakil hukumnya untuk memastikan haknya terlindungi dengan cara yang sah dan profesional.