Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Peraturan 3G di Jerman Selama Pandemi Sudah Berlaku, Indonesia Kapan?

9 September 2021   03:12 Diperbarui: 11 September 2021   00:25 1216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kami sudah divaksin, kamu? (Dokumentasi Gana)

Tadi sore, anak gadis (15 tahun) baru saja kumpul dengan teman-temannya di kota. 

Sepulangnya, ia cerita kalau teman-teman dekatnya sudah 2 kali divaksin. Sedangkan dia baru satu kali, dan dua minggu lagi baru disuntik lagi. Alasannya, dulu ia takut sakit atau sampai mati. 

Itu dari berita di sosmed yang ia baca dan bisikan dari teman-teman. Padahal kami sebagai orangtua juga sudah divaksin dan memberikan pengertian tentang perlunya vaksin dan risikonya (setiap obat/vaksin ada efek samping).

Maklum, di Jerman yang divaksin petugas kesehatan dulu dan lansia. Antre, apalagi waktu awal-awal yang mana jumlah vaksin masih terbatas dan ada pro-kontra yang serem tentang AstraZeneca.

Nah, anak gadis menyayangkan mengapa ia terlambat disuntik. Saya bilang nggak ada yang salah, memang sudah garisnya telat dari teman-temannya, diterima saja. 

Karena meskipun waktu itu ada ketentuan dari pemerintah bahwa usia 12 tahun ke atas sudah boleh divaksin, dokter setempat mengatakan lebih baik jangan dulu karena yang didahulukan adalah remaja di atas 12 tahun yang punya risiko tinggi, seperti tetangga kami yang kena kanker. 

"Yang masih sehat lebih baik menunggu," begitu pesan dokter.

Oh, ya. Kabarnya, Jerman akan menawarkan vaksin ketiga. Lihat saja nanti bagaimana ya, apakah ini perlu atau tidak. Kalau Indonesia, gimana?

Sembari nunggu itu, saya ingin bercerita tentang peraturan baru yang diberlakukan di wilayah Republik Federal Jerman bahwa semua warga harus memiliki bukti status salah satu dari 3G yakni "Genesene" (yang sudah terpapar corona), "Geimpft" (sudah divaksin) dan "Getestet" (dites dan negatif) untuk bebas beraktivitas sehari-hari.

Selama ini, jika akan makan di restoran/cafe, potong rambut, ikut acara yang melibatkan banyak orang, masuk ke gedung dengan banyak orang hingga berenang harus membawa bukti salah satu dari 3G. 

Untungnya seperti cerita saya terdahulu, saya sudah punya kartu vaksin Covid-19 digital yang berlaku di seluruh EU. Tinggal klik app di HP, taraaaa. Diakui dan praktis. 

Walaupun demikian, Jerman memiliki 16 negara bagian, tiap daerah memiliki aturan spesifik. Misalnya di NRW, tes negatif sudah tidak diharuskan lagi karena sudah divaksin atau pernah terpapar, namun di daerah lain masih harus ada.

Sebagai tambahan, yang sudah divaksin dan sudah pernah terinfeksi dan sembuh, memiliki hak yang sama dengan mereka yang memiliki update tes corona, bahkan memiliki kebebasan yang lebih dari yang hanya dites. 

Sebabnya  Robert Koch Institute, institusi yang sangat berkompeten soal corona menyatakan bahwa mereka yang sudah divaksin dan mereka yang sudah pernah terkena virus itu, akan memiliki risiko rendah untuk menularkan dibanding mereka yang hanya memiliki tes cepat corona saja.

Tapi bukan berarti golongan 2G (pernah terpapar dan divakin) ini bebas nggak pakai masker dan nggak perlu jaga jarak ya. Tetap sama. Semua orang harus pakai kalau memang wajib.

Nah, apa saja sih, perbedaan dari 3G ini? Akan saya kupas sekilas satu-satu ya.

Genesene (yang sudah pernah terpapar)

Dari kami ber-30, ada satu ibu-ibu yang pernah terpapar virus Covid-19 atau disebut "Genesene." 

Ia adalah pasien pertama di kelas kami, setelah itu nular-nular. Sampai-sampai kami harus dirumahkan total 1,5 bulan dan sekolah daring selama itu, yang bikin pening kepala karena banyak kendala. 

Gimana nggak mumet, semakin banyak tumpukan bahan pelajaran yang harus di-print sehingga tidak ramah lingkungan dan makin bingung harus belajar mulai dari mana, saking banyaknya materi. Yang kemarin belum dibaca, yang hari ini belum diprint, yang besok belum tentu ingat sudah didownload.

Eh, bagaimana teman saya tadi bisa terpapar? 

Ceritanya, karena ia sekolah seperti saya, ia menitipkan salah satu anaknya ke wanita yang menawarkan jasa titip anak (Tagesmutter). 

Sepulang dari sana, si anak sakit dan ketika diperiksa positif corona. Sebagai orang pertama yang dekat dengan si anak, ternyata teman saya itu juga ikut terpapar. 

Awalnya hilang daya rasa di lidah, lalu gejala lainnya menyusul. Katanya tidak parah, seperti flu biasa, namun tentu saja repot karena harus mengurus dua anak yang harus juga tinggal di rumah selama ia sakit, kegiatan rumah tangga, ditambah harus belajar. Hidup memang berat.

Ketika saya tanya, apakah ia ingin divaksin meskipun sudah pernah terpapar, ia menggelengkan kepala. Haha. Katanya dia sudah kebal. Benarkah?

Saya nggak tahu apakah ia punya bukti hitam di atas putih bahwa ia pernah terpapar atau tidak. Karena menurut pemerintah yang pernah terpapar, harus punya bukti dari tes lab PCR untuk membuktikan pernah terinfeksi. Dan itu bisa digunakan ketika menjadi prasyarat untuk berkumpul dengan kerumunan atau makan di resto atau pameran.

Tes tersebut minimal harus 28 hari hingga 6 bulan. Bukti bisa dalam bahasa Jerman, Inggris, Prancis, Italia atau Spanyol.

Keuntungan bagi mereka yang sudah pernah terinfeksi antara lain:

Pertama, boleh berbelanja, pergi ke kebun binatang, dan potong rambut tanpa tes negatif. Kumpul-kumpul tanpa batas dengan mereka yang sudah divaksin dan sudah pernah terpapar. 

Jadi seperti saat saya mengundang teman-teman sekolah untuk barbecue di saat pemerintah menentukan aturan hanya boleh 10 orang yang boleh berkumpul, tamu yang sudah pernah terpapar dan sudah divaksin tidak dihitung. 

Misalnya tamu saya terdiri 5 orang sudah divaksin, 5 orang sudah pernah terpapar, dan 10 orang dengan negatif tes. Artinya yang datang ke rumah saya 20 orang (tetapi 10 orang tidak dihitung). Jadi, pesta tetap boleh diselenggarakan. 

Aturan yang ganti-ganti dari pemerintah setempat biasanya disesuaikan dengan berapa jumlah pasien yang terpapar setiap minggunya.

Kedua, kebal dari aturan jam malam. Beberapa waktu lalu misalnya, ada aturan jam malam dari jam 10 malam sampai 5 pagi. Yang sudah terpapar boleh begadang sesukanya. 

Menurut pengalaman kami, saking takutnya ada kontrol dari polisi, tamu-tamu kami akhirnya memutuskan lebih baik menginap di rumah kami, ketimbang melintasi jalan dan ditangkap bahkan didenda karena melanggar aturan.

Ketiga, tak perlu dikarantina dan tanpa tes negatif saat berlibur di daerah berisiko corona. Tinggal menunjukkan bukti PCR tes dari laboratorium yang masih berlaku ketika kembali ke Jerman. 

Kewajiban karantina pun juga tidak berlaku baginya. Pengecualian adalah jika yang sudah pernah terpapar atau "Genesen" ini punya kontak dengan mereka yang terpapar  mutan dari virus Covid-19.

Lalu, memiliki hak yang sama dengan mereka yang sudah dites negatif selama berlibur.

Geimpft (yang sudah divaksin)

Kami berdua sudah divaksin di dokter kampung. Buktinya tertera di buku kuning imunisasi yang biasanya dimiliki setiap warga Jerman sejak lahir. 

Saya sudah pernah cerita, ya. Karena saya pindahan dari Indonesia, jadi saya juga punya dan harus mengulang semua imunisasi pokok karena ada aturan setiap 10 tahun sekali harus diperbarui. 

Dan untuk mempermudah administrasi, kami sudah mengurus bukti digital vaksin corona,  yang bisa disimpan di dalam HP sehingga dibawa ke mana saja tiada lupanya.

Bukti ini memang praktis ketika travel ke luar negeri. Ini sudah saya buktikan ketika saya backpacking ke Oslo, Norwegia selama 5 hari. 

Membawa e-sertifikat corona (boleh dalam Bahasa Jerman, Inggris, Prancis, Italia atau Spanyol) memperlancar perjalanan. Yang nggak punya itu, harus antre panjiangggg bak ular naga.  Kebanyakan orang membawa tes negatif saja.

Sebagai catatan, perlu diperhatikan vaksin kedua harus lebih dari 2 minggu. Jika kurang, artinya belum komplit! Kecuali untuk yang memilih vaksin Johnson&Johnson yang hanya satu kali dibanding vaksin dua kali dengan AstraZeneca atau Biontech.

Setelah divaksin dua kali saya punya kebebasan sama seperti yang sudah terpapar (ulasan tersebut di atas). Asyik, ya.

Teman-teman, sebagai tambahan dari cerita di atas, ada cerita penting yang perlu diperhatikan semuanya yang ingin ke Jerman selama pandemi.

Teman bisnis suami dari Pakistan sudah divaksin Sinovac. Nah, rupanya jenis vaksin ini belum diterima di Jerman meski sudah diakui WHO yang tingkat dunia. Bisa saja ini permainan politik, bisnis atau lainnya, saya nggak tahu.

Setiba di bandara, ia harus dikarantina dan divaksin ulang dengan Biontech. Konon selama karantina itu di hotel yang dibiayai oleh pemerintah Jerman. Saya belum cek ulang tentang itu.

Indonesia kan masih banyak yang suntik Sinovac karena beli dari China, semoga ini informasi yang bermanfaat supaya nggak repot alias ada kendala selama travel.

Jerman adalah negara sosialis. Setiap wajib pajak yang berpenghasilan lebih dari 400 euro atau sekitar 5 jutaan rupiah, akan dikenakan pajak. Jumlahnya tergantung kelasnya. Suami saya misalnya kena 30%, lumayan banyak, ya. Tapi harus ingat bahwa uang itu dari rakyat untuk rakyat, kembali ke rakyat. Banyak fasilitas dan support yang diberikan pemerintah Jerman kepada rakyatnya. Artinya, rakyat benar-benar menikmati, secara merata. Uang pajak antara lain untuk mendukung program kesehatan selama pandemi.

Sayangnya, dalam waktu dekat, Jerman akan mengenakan bea bagi siapa saja yang memerlukan hasil tes negatif yang selama ini gratis. 

Bebas bea hanya diperuntukkan bagi anak-anak saja. Ini barangkali sebagai upaya pemerintah supaya mereka yang belum divaksin segera mendaftar. Tidak hanya untuk melindungi diri sendiri tapi juga orang lain.

Getestete (yang sudah dites negatif) 

Kami jadi ingat cerita kami berlibur keliling Jerman. Kami berdua sudah divaksin, waktu itu anak-anak belum divaksin tapi memiliki hasil tes negatif. Kami boleh berlibur, horeee. 

Alamak repot juga mencari tempat tes negatif bagi anak-anak karena selama seminggu harus pindah-pindah kota dan setiap hotel mengharuskan tes negatif yang berlaku 24 jam alias masih baru.  

Boleh dikatakan hampir tiap hari tes. Untung saja, banyak pusat tes corona di setiap pusat kota. Bentuk bangunannya sederhana seperti kedai. Hasil tes bisa keluar 15 menit jadi. Bisa dengan bukti kertas atau per email. Pendaftarannya ada yang lewat online dan ada juga yang langsung di tempat tanpa "Termin" alias nggak usah janjian.

Hak mereka yang sudah dites sebenarnya sama saja dengan mereka yang sudah divaksin atau sudah pernah terpapar, hanya saja, tidak boleh keluar rumah setelah pukul 22.00 (jika insiden lebih dari 100 orang di wilayah tersebut) dan hanya boleh bertemu dengan satu keluarga lainnya saja.

Andai tempat tujuan wisata adalah daerah berisiko, maka yang sudah dites cepat ini harus membawa PCR (yang tidak lebih dari 48 jam) setelah kembali ke Jerman dan karantina 14 hari. Untungnya kami wisata lokal, nggak lewat perbatasan negara. Aman.

***

Melihat bagaimana pemerintah Jerman mengatur tentang pertemuan orang dan kegiatan selama pandemi, menurut saya pola 3G ini cerdik. Pasti ada-lah pemikiran orang, daripada susah-susah tes terus, ya, sudahlah divaksin. Beres.

Kalau di Indonesia, orang yang mengejar vaksin, di Jerman sebaliknya. Banyak tetangga dan kenalan saya yang lari atau menghindar. Sebabnya macam-macam, antara lain karena takut, enggan, malas atau provokasi dari medsos bahkan sampai bisikan tetangga. "Vaksin corona itu tipu-tipu dan berbahaya." Benarkah?

Dengan persyaratan keharusan membawa bukti salah satu dari 3G itu untuk berada di tempat umum, saya taksir kesadaran jadi semakin tinggi. 

Maklum, Jerman adalah negara tertib yang mengharuskan bukti hitam di atas putih, detil, dan eksak. Orang nggak bisa mengatur sendiri-sendiri. Yang nggak ikut negara, kuldesak.

Pantauan saya, 3G juga membantu pergerakan ekonomi di Jerman yang sempat tersendat karena pandemi sampai gelombang 4 ini, menjadi aman dan nyaman. Pelan tapi pasti, ada harapan baru bagi warga. Toko-toko, kolam renang, tempat wisata, resto/cafe dan lainnya mulai dibuka serempak dan ramai dikunjungi orang.

Iya, sebab tak hanya 3M (Masker, Mencuci tangan dan Menjaga jarak) tapi juga 3G (Genesen, Geimpft, Getestet) yang diberlakukan di seantero Jerman.

Senang, lho melihat suasana hampir seperti zaman nggak ada corona. Waktu kami ke Freiburg Sabtu kemarin, saya seperti tak percaya apakah benar corona sudah pergi? 

Orang hanya memakai masker di dalam ruangan. Misalnya kalau sedang makan atau minum, boleh dilepas. Jika selesai dipakai kembali. Orang-orang nongkrong di resto atau pub semalaman. Banyaaak banget, seperti waktu saya di Oslo begitu, deh. Polisi wara-wiri patroli menjaga ketertiban.

Ya, sudah deh, optimis. Semoga Indonesia segera menyusul Jerman yang akan mengatur semuanya secara pasti dan detil. 

Pemberlakuan 3G alias TVT (terpapar/vaksin/tes) di tanah air, supaya ada ijin untuk berkerumun sebanyak-banyaknya, beraktivitas bebas, sekaligus tak ada kekhawatiran tertular saat berkumpul itu, bakal menjadi angin segar buat kita yang sudah sesak karena dilarang ini-itu melulu.

Kami sudah masuk 3G, "Geimpft" (divaksin). Kalian, gimana?

Salam sehat dan bahagia.

Sumber: www.businessinsider.de Joana Lehner 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun