Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kebebasan Berekspresi Jangan Sampai Kebablasan

26 Februari 2025   15:00 Diperbarui: 26 Februari 2025   15:00 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua personel Band Sukatani, (Tangkapan Layar Instagram @sukatani.band )

Bayangkan sebuah dunia di mana siapa pun bebas berbicara tanpa batas. Orang-orang bisa mengkritik pemerintah sesuka hati, mencemooh individu tanpa konsekuensi, menyebarkan berita tanpa peduli kebenarannya, bahkan menghina sesama tanpa rasa bersalah. Dunia seperti itu mungkin terdengar sebagai bentuk demokrasi yang sempurna, tetapi pada kenyataannya, kebebasan tanpa batas bisa menjadi pisau bermata dua yang tajam.

Kebebasan berekspresi merupakan hak fundamental yang harus dilindungi, tetapi pada saat yang sama, hak ini juga membawa konsekuensi. Ketika ekspresi dilakukan tanpa tanggung jawab, ia dapat melukai orang lain, merusak harmoni sosial, bahkan menimbulkan konflik berkepanjangan. Inilah yang menjadi dilema besar: bagaimana menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan tanggung jawab sosial?

Sejarah telah mencatat bagaimana kebebasan berekspresi yang tidak terkendali dapat membawa dampak buruk. Di berbagai negara, ujaran kebencian telah memicu kekerasan massal, propaganda palsu telah menggiring opini publik ke arah yang keliru, dan penyalahgunaan media sosial telah menghancurkan reputasi serta kehidupan seseorang. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami bahwa kebebasan berekspresi bukanlah kebebasan absolut. Ia memiliki batasan yang perlu dijaga agar tidak merugikan individu lain maupun masyarakat secara luas.

Kebebasan Berekspresi dalam Konteks Hukum dan Etika

Di Indonesia, kebebasan berekspresi dijamin dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hal ini diperkuat oleh Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang memberikan hak kepada setiap orang untuk menyampaikan pendapat tanpa intervensi. Namun, kebebasan ini bukan berarti bebas tanpa batas. Pasal 28J UUD 1945 secara tegas membatasi hak-hak individu demi menghormati hak orang lain serta menjaga ketertiban umum.

Dalam konteks hukum, Indonesia memiliki berbagai regulasi yang mengatur batasan kebebasan berekspresi. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) No. 11 Tahun 2008 misalnya, sering digunakan untuk menjerat pelaku penyebaran ujaran kebencian, hoaks, dan pencemaran nama baik di dunia maya. Di satu sisi, aturan ini bertujuan untuk menjaga ruang digital agar tetap sehat, tetapi di sisi lain, penerapannya sering kali menuai kontroversi karena dianggap bisa membungkam kritik yang sah terhadap pemerintah dan institusi tertentu.

Masalahnya, batas antara ekspresi yang sah dan ekspresi yang berbahaya sering kali kabur. Kritik terhadap kebijakan publik yang disampaikan secara objektif bisa dianggap sebagai ujaran kebencian oleh pihak yang merasa tersinggung. Sebaliknya, ujaran kebencian yang jelas-jelas melanggar etika bisa saja dikemas sebagai "kritik" untuk menghindari jeratan hukum. Inilah tantangan besar dalam menegakkan kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab: bagaimana membedakan kritik yang sah dengan ujaran yang destruktif?

Ketika Kebebasan Berubah Menjadi Keblabasan

Salah satu contoh nyata dari kebebasan berekspresi yang keblabasan adalah penyebaran informasi tanpa verifikasi. Di era digital, siapa pun bisa menjadi "wartawan dadakan". Media sosial dan platform daring memungkinkan individu menyebarluaskan informasi dengan cepat, tanpa harus melalui proses verifikasi yang ketat seperti di media konvensional. Akibatnya, berita bohong atau hoaks menjadi fenomena yang sulit dibendung.

Sebuah studi dari MIT Sloan School of Management menemukan bahwa berita bohong menyebar 6 kali lebih cepat dibandingkan berita benar di media sosial. Ini terjadi karena informasi yang mengejutkan atau provokatif lebih menarik perhatian publik, meskipun kebenarannya masih dipertanyakan. Di Indonesia, kasus penyebaran hoaks telah beberapa kali memicu ketegangan sosial, bahkan berujung pada kerusuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun