Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mirisnya Bekerja di Indonesia Harus Serba Bisa, tapi Gaji Minim!

25 Februari 2025   09:56 Diperbarui: 25 Februari 2025   09:56 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lustrasi gaji kecil.  Velocity Global. (canva.com) 

Bayangkan kamu baru saja lulus kuliah dengan semangat tinggi untuk memasuki dunia kerja. Kamu menghabiskan bertahun-tahun belajar, membekali diri dengan berbagai keterampilan, dan berharap mendapatkan pekerjaan yang layak dengan gaji yang cukup untuk hidup. Namun, ketika mulai mencari pekerjaan, realita yang ada justru jauh dari ekspektasi.

Sebagian besar lowongan kerja mencantumkan syarat yang sangat tinggi---pengalaman minimal tiga tahun, mampu bekerja di bawah tekanan, multitasking, bahkan menguasai berbagai keterampilan yang terkadang tidak ada hubungannya dengan posisi yang dilamar. Namun, ketika sampai pada bagian gaji, angka yang ditawarkan sering kali hanya sedikit di atas upah minimum.

Fenomena ini bukan lagi kasus yang jarang terjadi. Sebaliknya, ini telah menjadi wajah dunia kerja di Indonesia, di mana seorang pekerja diharapkan memiliki banyak keahlian, tetapi dihargai dengan upah yang minim. Mengapa hal ini terus terjadi? Bagaimana dampaknya bagi pekerja dan perekonomian secara keseluruhan? Mari kita telusuri lebih dalam.

Tuntutan yang Tidak Masuk Akal di Dunia Kerja

Di Indonesia, banyak perusahaan menginginkan pekerja dengan keahlian yang luas, bahkan di luar deskripsi pekerjaan mereka. Sebuah posisi "staf administrasi", misalnya, tidak lagi hanya berkaitan dengan pengelolaan dokumen atau pembukuan sederhana. Kini, seorang staf administrasi sering kali dituntut bisa mengoperasikan perangkat lunak desain, memiliki kemampuan komunikasi yang baik, memahami pemasaran digital, dan bahkan menguasai dasar-dasar akuntansi.

Begitu pula dengan profesi lain. Seorang jurnalis tidak hanya dituntut menulis berita, tetapi juga harus bisa mengedit video, mengelola media sosial, dan membuat infografis. Seorang pekerja di bidang teknologi informasi tidak cukup hanya memahami pemrograman, tetapi juga diharapkan menguasai jaringan, keamanan siber, dan strategi pemasaran digital.

Tuntutan yang berlebihan ini sebenarnya bukan hal yang aneh dalam dunia kerja. Namun, yang menjadi masalah adalah ketidakseimbangan antara tuntutan dan kompensasi. Pekerja yang memiliki banyak keahlian seharusnya mendapatkan gaji yang lebih tinggi. Namun, realitanya, banyak dari mereka tetap dibayar dengan angka yang jauh di bawah standar yang layak.

Upah Rendah Realita yang Tidak Kunjung Berubah

Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata upah pekerja di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan standar biaya hidup di banyak kota besar. Sebagai contoh, upah minimum di DKI Jakarta pada tahun 2024 adalah sekitar Rp5 juta per bulan. Namun, menurut survei berbagai platform ketenagakerjaan, untuk bisa hidup dengan nyaman di Jakarta, seseorang setidaknya membutuhkan penghasilan sekitar Rp7--8 juta per bulan.

Hal yang lebih menyedihkan lagi, di luar Jakarta dan kota-kota besar lainnya, upah minimum di berbagai daerah bahkan jauh lebih rendah. Di beberapa daerah, ada pekerja yang harus bertahan dengan gaji di bawah Rp3 juta per bulan, padahal mereka diharapkan memiliki keahlian yang kompleks dan tanggung jawab yang besar.

Masalah ini tidak hanya dialami oleh pekerja di sektor formal, tetapi juga di sektor informal dan freelance. Banyak pekerja lepas yang diminta untuk menyelesaikan pekerjaan dengan kualitas tinggi, tetapi hanya dihargai dengan bayaran yang sangat rendah. Bahkan, beberapa perusahaan memanfaatkan status "magang" untuk memperkerjakan tenaga kerja murah dengan beban kerja yang tidak kalah berat dibandingkan karyawan tetap.

Mengapa Perusahaan Enggan Membayar Lebih?

Salah satu alasan utama mengapa perusahaan di Indonesia enggan memberikan gaji yang layak adalah karena mereka berusaha menekan biaya operasional. Banyak perusahaan, terutama perusahaan kecil dan menengah (UMKM), memiliki keterbatasan anggaran sehingga mereka lebih memilih mempekerjakan sedikit karyawan dengan tanggung jawab yang luas daripada merekrut lebih banyak tenaga kerja.

Selain itu, masih banyak perusahaan yang berpegang pada pola pikir lama bahwa tenaga kerja di Indonesia "murah" dan mudah didapatkan. Dengan populasi yang besar dan tingginya angka pengangguran, banyak perusahaan merasa tidak perlu menawarkan gaji yang tinggi, karena selalu ada orang lain yang siap menggantikan pekerja yang keluar.

Regulasi ketenagakerjaan yang lemah juga menjadi faktor utama. Meskipun pemerintah telah menetapkan upah minimum, masih banyak celah hukum yang memungkinkan perusahaan menghindari kewajiban membayar upah yang layak. Salah satu contoh yang sering terjadi adalah praktik outsourcing dan kerja kontrak, di mana pekerja tidak memiliki kepastian kerja dan sering kali dibayar di bawah standar yang seharusnya.

Dampak Buruk bagi Pekerja dan Ekonomi

Konsekuensi dari sistem kerja yang tidak adil ini sangat besar, baik bagi individu maupun bagi perekonomian secara keseluruhan. Bagi pekerja, tuntutan tinggi dengan gaji rendah dapat menyebabkan stres, kelelahan, dan menurunnya kualitas hidup. Banyak pekerja yang harus mengambil pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, yang pada akhirnya berpengaruh pada produktivitas dan kesehatan mental mereka.

Selain itu, kondisi ini juga menyebabkan meningkatnya angka turnover karyawan. Banyak pekerja yang merasa tidak dihargai dan akhirnya memilih untuk pindah ke pekerjaan lain atau bahkan mencari kesempatan di luar negeri. Hal ini bisa berdampak buruk bagi perusahaan, karena tingginya angka turnover berarti mereka harus terus merekrut dan melatih karyawan baru, yang justru dapat meningkatkan biaya operasional dalam jangka panjang.

Dari sisi ekonomi, rendahnya upah pekerja juga berdampak pada daya beli masyarakat. Jika mayoritas pekerja tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka, maka tingkat konsumsi akan menurun. Padahal, konsumsi rumah tangga adalah salah satu faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan perubahan besar dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Pemerintah harus lebih tegas dalam menegakkan regulasi ketenagakerjaan dan memastikan bahwa setiap pekerja mendapatkan hak-hak mereka, termasuk upah yang layak dan kondisi kerja yang manusiawi.

Selain itu, perusahaan juga perlu mengubah pola pikir mereka terhadap tenaga kerja. Alih-alih melihat pekerja sebagai biaya yang harus ditekan, perusahaan harus mulai melihat mereka sebagai aset yang perlu diberdayakan. Memberikan gaji yang layak dan lingkungan kerja yang baik tidak hanya akan meningkatkan produktivitas, tetapi juga akan membantu perusahaan dalam jangka panjang dengan meningkatkan loyalitas dan retensi karyawan.

Pekerja sendiri juga harus lebih sadar akan hak-hak mereka. Edukasi tentang ketenagakerjaan harus lebih diperluas, agar pekerja bisa lebih berani memperjuangkan hak mereka dan tidak terus-menerus menerima kondisi kerja yang tidak adil.

Kesimpulan

Fenomena pekerja yang dituntut serba bisa tetapi dibayar dengan gaji minim bukan sekadar masalah individu, melainkan sebuah persoalan sistemik yang perlu segera diatasi. Jika kondisi ini terus berlanjut, bukan hanya pekerja yang dirugikan, tetapi juga perusahaan dan ekonomi negara secara keseluruhan.

Saatnya bagi semua pihak pemerintah, perusahaan, dan pekerja untuk berkontribusi dalam menciptakan ekosistem kerja yang lebih adil dan berkelanjutan. Dengan regulasi yang lebih baik, kesadaran pekerja yang lebih tinggi, dan perusahaan yang lebih menghargai tenaga kerja, kita bisa berharap masa depan dunia kerja di Indonesia menjadi lebih cerah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun