Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kambing-kambing yang Terangkat ke Langit

27 Mei 2018   17:37 Diperbarui: 28 Mei 2018   02:26 2355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: thespruce.com

Aku harus melakukan pekerjaan besar. Sendirian. Untung saja aku memiliki setangkai sekop di gudang. Kotoran kambing-kambing itu sangat bau, sampai-sampai aku harus menutup hidungku dengan masker. Nah, ini bagian penting yang harus kau simak baik-baik. Saat itu sinar matahari pagi sungguh cemerlang. Langit biru cerah menaungi perbukitan. 

Lalu... aku melihat keajaiban selanjutnya. Aku melihat kilau cahaya dari kotoran yang berada dalam sekopku! Mana mungkin cahaya berkilauan berasal dari kotoran kambing? Aku meletakkan sekopku dan berputar mengelilinginya, mencoba mengamati dari berbagai sisi. Cahaya itu masih ada! Kau pasti merasa bingung, sama seperti mereka yang membaca cerita ini. Kau bisa membayangkan bahwa aku seribu kali lebih bingung dari itu, kan?

Maka, aku memutuskan untuk memastikannya. Kotoran itu kuhancurkan dengan sekop. Agak menjijikkan, memang. Tapi, harus bagaimana lagi? Aku benar-benar penasaran. Lalu rahasia itu pun terkuak. Aku menemukan sebutir emas sebesar gundu! Luar biasa!

Jangan memandangku sinis begitu. Kau akan menyesal bila tahu bahwa semua yang kukatakan benar adanya. Kau bertanya dari mana aku tahu butiran itu emas? Aku menyentuhnya! Ketika aku menggenggamnya, butiran itu terasa berat. Aku bahkan mengabaikan fakta butiran itu berasal dari kotoran kambing. Jangan tanyakan alasannya. Warna kuning mengilat itu sungguh menggoda. Kau akan tahu bila melihatnya.

Sekarang, apa yang kau dan mereka yang membaca cerita ini pikirkan mulai seirama. Kau ingin tahu apakah ada butiran emas lainnya, bukan? Tepat. Seperti itulah yang aku pikirkan waktu itu. Aku memandangi kotoran kambing yang berserakan di rerumputan dan berpikir bahwa butiran-butiran emas lain sedang menantiku. Dapatkah kau membayangkan aku bertingkah seperti orang yang kesurupan?

Aku menghancurkan semua kotoran kambing seperti orang gila! Menakjubkan! Butiran-butiran emas itu berada dalam setiap kotoran. Saku celana dan kemejaku sarat dengan butiran emas! Rasanya sungguh berat, hingga kantungku nyaris koyak! Aku berlari ke dalam rumah untuk mengambil karung. Semua butiran emas kumasukkan ke dalam karung itu. Aku kaya mendadak, Kawan!

Aku berlari berputar-putar dan berteriak-teriak kegirangan. Kotoran kambing mengotori kaki, tangan, dan pakaianku. Tubuhku bau kotoran kambing! Peduli setan! Aku sungguh bahagia. Dapatkah kau membayangkan kebahagiaanku? Aku-pengarang miskin yang hidup sebatang kara-tiba-tiba memiliki seratus butir emas!

Lalu aku berpikir, akan kuapakan semua emas itu? Emas yang kumiliki terus bertambah setiap kali kambing-kambing itu buang hajat. Sementara itu, penghasilanku dari menulis cerita terus merosot, karena waktuku tersita untuk mengamati kambing-kambing itu. Mau tidak mau, aku harus menjual emas itu untuk membeli keperluan sehari-hari.

Maka, turunlah aku ke kota. Sengaja aku memilih toko emas kecil yang berada di pinggiran kota. Aku akan menjual sebutir emas saja agar pemilik toko emas tidak curiga pada orang miskin sepertiku. Ketika aku menunjukkan butiran emas itu kepada pemilik toko, ia tampak terpesona. Ia mohon izin untuk memeriksa emas itu. Saat ia kembali, ia mengatakan padaku bahwa itu emas murni!  

Hatiku membuncah bahagia. Terlebih ketika pemilik toko emas menyerahkan setumpuk lembaran uang baru di telapak tanganku. Uang sebanyak itu tak pernah kumiliki seumur hidupku! Aku keluar dari toko itu dan membeli makanan dan minuman terbaik. Aku juga membeli beberapa baju baru. Ketika aku melintasi kedai terbaik, aku memutuskan untuk mampir. Selama ini, aku hanya melihat kedai itu dari luar. Aku tak pernah memiliki cukup uang meski hanya untuk memesan satu porsi menu terbaik mereka.

Aku melangkah masuk kedai itu sambil bersiul-siul. Sekarang, aku bisa memesan apa saja yang aku inginkan. Saat pelayan mencatat pesananku, aku menyebutkan menu pesananku keras-keras. Kegilaan muncul seperti sekawanan lebah dalam kepalaku. Aku ingin semua orang tahu, aku bukan lagi pengarang miskin yang tak punya uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun