Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kambing-kambing yang Terangkat ke Langit

27 Mei 2018   17:37 Diperbarui: 28 Mei 2018   02:26 2355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: thespruce.com

Apa yang ingin kuceritakan hari ini adalah kejadian yang kualami seminggu yang lalu. Sebelumnya, aku ragu untuk menceritakannya. Karena, mungkin saja kau atau mereka yang membaca cerita ini akan menganggapku sebagai seorang pembual. Bisa jadi, kau akan menganggapku gila lalu menceritakannya kepada orang-orang. Aku akan dikucilkan dan diperlakukan layaknya sampah. Kupikir, sebaiknya kuurungkan saja niatku untuk bercerita. Tolong, maafkan aku.

Kau memaksaku? Kau benar-benar ingin tahu? Baiklah, aku mencoba untuk memercayaimu. Kau mungkin tidak sepicik mereka yang membaca cerita ini. Paling tidak, aku akan mendapatkan kelegaan setelah bercerita. Namun berjanjilah, kau takkan menertawaiku. Kau cukup mendengarkan dengan saksama dan berpura-pura memahamiku, meskipun mereka yang membaca cerita ini tidak memercayainya. Karena aku tahu, sulit memercayai cerita yang akan kau dengar ini.

Aku mulai saja. Seminggu yang lalu, aku sedang merasa penat. Ideku kering seperti musim kemarau. Aku belum menulis apa pun berhari-hari lamanya. Kuputuskan untuk berjalan-jalan tanpa alas kaki di rerumputan. Seperti yang kau tahu, rumahku berada di daerah perbukitan. Aku bisa melihat gemerlap lampu kota dari kejauhan. Malam itu, aku membaringkan diriku di rerumputan itu, sambil mencari-cari rasi bintang di langit. Saat menemukan rasi bintang pemburu, aku melihat kilasan cahaya berlomba-lomba turun dari langit. Ah, rupanya hujan meteor.

Ide yang semula surut tiba-tiba meluap-luap dalam benakku. Serangkaian adegan dan cerita melintas cepat. Kupandangi kilasan-kilasan cahaya meteor di langit sambil tersenyum lega. Saat hujan meteor itu berhenti, kupejamkan mata dan meresapi ide-ide yang akan kutuliskan. Saat membuka mata, aku terkejut bukan kepalang. Aku melihat parade keajaiban turun dari langit!

Kau dapat membayangkan keajaiban apa yang kusaksikan? Akan kukatakan padamu. Aku melihat kambing-kambing tercurah dari langit! Tentu, aku bisa menebak apa yang kau pikirkan. Kau pasti mengira aku sedang bermimpi waktu itu. Awalnya, aku juga berpikir demikian. Namun, ketika aku melihat kambing-kambing itu mulai berjalan ke arahku, barulah kusadari, keanehan itu benar-benar terjadi!

Aku segera bangkit dari rerumputan dan mengucek-ngucek sepasang mataku. Semua itu mungkin tak nyata. Tapi, saat melihat kambing-kambing itu berada di sekitarku, aku harus percaya. Kejadian itu sama sekali bukan mimpi. Kambing-kambing itu merumput dan mengembik. Mengembik! Kau bayangkan saja! Entah apa yang singgah di otakku, sampai-sampai aku tidak segera lari tunggang langgang. Padahal kau tahu, aku bukanlah seorang pemberani.

Jangan tanyakan apa yang kulakukan setelahnya. Hingga hari ini, aku bahkan nyaris tak percaya dengan apa yang kupikirkan waktu itu. Aku ingin memelihara kambing-kambing itu! Konyol? Menurutku tidak. Aku hanya sedang kehilangan akal sehatku. Kambing-kambing itu berjumlah setidaknya seratus ekor! Bagaimana pengarang cerita sepertiku-aku tidak punya pengalaman berternak hewan apa pun-mampu memelihara kambing sebanyak itu?

Untung saja, hujan kambing itu tak berlangsung lama. Bila tidak, ratusan atau malah ribuan kambing akan menggunduli rerumputan di perbukitan. Aku mulai memikirkan tempat yang bisa menampung kambing-kambing itu. Sayangnya, aku tidak memilikinya. Aku tidak memiliki kandang apalagi lahan yang luas. Lalu, aku menatap daerah perbukitan di sekelilingku. Kambing-kambing itu bisa mendiaminya. 

Rumahku terpencil, jauh dari rumah penduduk lain yang bermukim di sekitar kaki bukit. Jadi menurutku, kehadiran kambing-kambing itu tidak akan mengganggu manusia. Aku menarik napas lega dan masuk ke dalam rumah. Sepanjang malam, aku menghabiskan waktu dengan menulis beberapa cerita.

 Keesokan harinya, aku terjaga dengan mata sayu karena kantuk menjajahku. Tapi, aku harus melawan dinginnya udara pagi dan memeriksa kambing-kambing itu. Kau tahu? Kambing-kambing itu masih di sana dan sedang merumput! Iseng-iseng, aku menghitung jumlah mereka. Astaga, jumlahnya memang seratus! Persis seperti perkiraanku tadi malam. Kambing-kambing itu terlihat sehat dan gemuk. Anehnya, rerumputan terlihat masih sama seperti kemarin meski seratus kambing sudah memangsa rerumputan itu.

Saat ini, mungkin kau sama saja dengan mereka yang membaca cerita ini. Kau pasti menganggapku benar-benar seorang pembual. Tak apa, bagiku itu bukan masalah. Kau mau tahu apa yang terjadi selanjutnya? Kotoran kambing-kambing itu berserakan di rerumputan! Aku baru menyadarinya setelah menginjak kotoran itu. Sial! Sungguh-sungguh sial! Kau bisa membayangkan aroma kotoran seratus ekor kambing, bukan? Bila aku membiarkan kotoran-kotoran itu, aku akan kehilangan aroma segar perbukitan yang kuhirup setiap hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun