Mohon tunggu...
Lia Agustina
Lia Agustina Mohon Tunggu... pegawai negeri -

bukan manusia sempurna....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Elegi di Titik Nadir (Sebuah Kisah Tsunami) - Bagian 1

2 Juli 2010   13:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:08 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Samudera itu, samudera hatiku. Menatap bentangan horizon nun jauh di sana membuatku sadar, bahwa kemesraan langit dan laut takkan pernah terpisahkan. Ditambah lagi dengan kicauan burung pelikan, seolah-olah ingin menghantarkan deburan ombak yang berkejar-kejaran memecah karang. Bahkan, alunan nyiur melambai yang tersaput desir angin di pantai sejenak mampu membuat bibirku berdesis. Subhanallah!

[caption id="attachment_182988" align="alignleft" width="160" caption="Ilustrasi : http://ni2s.multlply.com"][/caption]

Semua keindahan itu kini tersaji di pelupuk mataku. Membuaiku. Menggugah kediamanku. Bahkan dengan perlahan, kenanganku kembali terseret ke hampir enam tahun yang lalu. Kenangan tentang sebuah kenyataan yang tak disangka-sangka akan menimpa Bumi Serambi Mekah. Ketika siapapun mengalami kenyataan itu, sesungguhnya bagaikan membuka sebuah Kotak Pandora. Maka, muncullah segala lara, menghantam semua bahagia, merenggut nyawa-nyawa. Hanya satu yang tersisa di dalamnya. Sebuah harapan…. Sebuah sisa kata yang sehingga detik ini membuatku tetap ada…

Bukan tanpa alasan aku berada di sini. Mengambil cuti dari kantor beberapa hari demi menghadiri sebuah acara pernikahan. Pernikahan Nadia, sahabat baikku. Sebenarnya aku hampir urung melakukan penerbangan selama 3 jam itu. Langkahku sempat terhenti sejenak di Cengkareng tadi. Hatiku bergetar. Ingin berbalik, menarik kembali koperku keluar bandara. Dilema. Namun setelah beberapa detik mengatup mata dan menarik napas dalam-dalam, aku putuskan untuk kembali melangkah. Check in…

Mengapa semua terasa begitu berat? Semua jawaban ada di hati dan memoriku. Bagi sebagian orang mungkin rasa ini terlalu berlebihan, tapi tidak buatku. Barangkali aku tipe orang yang tidak gampang pulih dari rasa sakit, terutama menyangkut hati. Terlebih lagi ketika harus membawa trauma yang terendap di alam bawah sadarku. Aku takut! Sempat menggigil di atas pesawat. Aku merasa belum siap menghadapi tanah pusaka nenek moyangku lagi. Tanah tempat di mana aku harus kehilangan orang tua dan sanak saudara. Hanya dalam sekali sapuan peristiwa. TSUNAMI.

Minggu, 26 Desember 2004. Waktu itu aku menumpang tidur satu malam di kos sahabatku, Nadia, yang letaknya tak jauh dari kampus. Aku memang sudah mendapatkan izin dari ayah-ibu untuk menginap. Aku dan beberapa teman harus menyelesaikan deadline sebuah tugas kelompok dari dosen. Apalagi hari senin besok mesti segera dikumpulkan. Untung saja, ketika menjelang dini hari, tugas itu terselesaikan juga.

Setelah menyempatkan tidur beberapa jam bak ikan asin yang dijejerkan bersama Nadia, Jannah dan Keumala, pagi itu aku pun bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Setelah solat subuh tadi, ibu langsung menelepon. Memintaku kembali secepatnya. Saudara-saudaraku – baik itu yang berasal dari Aceh sendiri, maupun dari Medan, Pekan Baru, dan daerah-daerah lainnya – sudah tak sabar ingin menikmati keindahan pantai Lhok Nga yang tak jauh dari rumahku. Sejak beberapa hari sebelumnya mereka datang untuk menghadiri acara pernikahan sepupuku. Maka, pada hari itu, piknik ke pantai pun menjadi agenda akhir pekan keluarga besarku.

Hati-hati ya, Ti…” Dengan wajah masih mengantuk, Nadia mengantarku ke halaman depan rumah kosnya. Sambil mengangguk aku mengeluarkan kunci motor bebek kesayangan dari saku. Motor itu kutitip di dalam garasi samping rumah kos Nadia.

“Bangunin tuh si Jannah ma si Keumala, Nad. Kata ibuku, gak baik anak perawan bangun siang… hehehehe,” celetukku sambil nyengir.

Nadia ikutan nyengir. Sudah jadi rahasia umum antar teman sekelas, dua sahabat mereka itu memang ‘tumor’ alias tukang molor. Maka, gadis itu pun hanya melengos pasrah. “Kalo minimal belom 8 jam sih mereka gak bakal bangun, Tia. Mungkin gempa aja belum tentu bikin mereka bangun…. Hehehehe”

Belum sempat sedetik Nadia mengucapkan kalimat itu, tiba-tiba saja bumi tempat kami berpijak bergoncang keras. Aku tak tahu apakah itu sekedar kebetulan saja ataupun memang sebuah tulah? Ucapan bisa menjadi doa, walaupun dalam nada bercanda. Tapi di atas segalanya, aku lebih percaya bahwa takdir Tuhan-lah yang telah menggoreskannya.

Mendadak aku dan Nadia merasa seperti anemia. Pusing, seperti tak menapak. Dinding-dinding jadi tumpuan dan sandaran. Karena semua benda tampak mengayun-ayun keras dan ambruk ke lantai mengikuti goncangan yang sangat keras dan berlangsung selama lebih dari lima menit.

“Allahu Akbar!!! Ya Rabb… gempanya kencang sekali, Nad!!!” pekikku. Segera kuangkat lengan Nadia yang sempat terperosok. Tubuhnya benar-benar gemetaran. Sejurus kemudian, hampir semua penghuni kos keluar kamar, berlari dengan wajah-wajah panik. Semua menghambur menuju satu tujuan. Pintu keluar.

Nadia merapatkan tubuhnya ke dinding agar tak terinjak-injak serbuan langkah kaki teman-teman kosannya. Setelah berlari sekuat tenaga, akhirnya kami pun berhasil keluar rumah. Berkumpul di halaman rumah yang dianggap sebagai ruang terbuka yang cukup aman. Tampak jelas, motor-motor yang di parkir di halaman berjatuhan di aspal. Bahkan beberapa tembok bangunan tampak retak-retak parah. Kerusakan akibat guncangan keras tadi tergambar nyata sejauh mata memandang.

“Di mana Jannah dan Keumala, Tia? Mereka gak keliatan!!!”teriak Nadia. Suasana benar-benar hiruk-pikuk, sehingga volume suara memang harus ditingkatkan. Dari puluhan teman kosan Nadia yang berkumpul bersama kami di halaman itu, batang hidung Jannah dan Keumala tak juga kelihatan. Aku dan Nadia semakin risau karena belum menemukan mereka.

Saat itu, semua wajah tampak benar-benar pucat. Semua shock! Dan semua bibir pun refleks mengucapkan Asma Allah, meski mungkin sehari-harinya mereka sering lupa mengucapkannya karena hanya larut dengan segala rutinitas duniawi. Tiba-tiba saja semua mengingat akhirat!! Mungkin, memang begitulah salah satu cara Tuhan menegur kita sebagai makhluknya yang sering alpa. Memberikan peristiwa yang tak disangka-sangka.

Segera kuhubungi orang tuaku via ponsel. Namun, setelah berkali-kali mencoba menelepon ke nomor ibu dan ayah, tetap saja operator tak berhasil menghubungiku dengan mereka. Aku benar-benar cemas! Karena aku tak tahu sama sekali bagaimana kondisi keluargaku saat itu....

Hanya berselang sekitar lima belas menit setelah gempa, sebuah teriakan yang entah dari mana dan dari siapa asalnya, membuat kami semua kembali panik. Malah lebih panik dari sebelumnya.

“AIR LAUT NAIIIIIIK!!!!”

Ya Allaaaaaaaaaaaaaah…. Apalagi ini? Sekujur tubuhku bak tersengat listrik. Di tengah kebingungan dan kepanikan, selintas kulihat betapa kelamnya langit seperti akan runtuh pagi itu. Dari kejauhan, suara gemuruh membahana, berpadu dengan suasana yang kian menghuru-hara. Samar-samar sebuah gelombang hitam bak ular naga melebihi tinggi pohon kelapa semakin mendekati tanpa hitungan menit. Kerumunan massa semakin bergerak tak terkontrol menuju jalan raya. Ada pula yang sibuk mencari tempat yang lebih tinggi.

Cepat-cepat kutarik lengan Nadia yang tampak begitu shock. Yang kami tahu hanya berlari dan berlari!!! Berusaha menyelamatkan diri masing-masing, tak peduli meski harus bertubrukan ataupun menginjak-injak teman. Ya Rabb.... Inikah KIAMAT???

“Meutiaaaaaa….. kita kemana?”

“Lari saja, Nad!!! Lari sekencang-kencangnya!!!”

“Tiaaaaa…. Liat itu!!!!! Allahu Akbar!!!!Apa itu???”

“Nadiaaaa, jangan menoleh lagi ke belakang!!! Ikuti terus orang-orang di depan….. mereka manjat ke atap-atap rumah dan pohon!!! Kita juga harus ke sana, Nad!!! Ayo cepaaattt!!”

“Meutiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!”

"Allaaaaaaaaahu Akbaaaaaaarrr....!!!!!"

BYARRRRR!!!!!

Sedetik itu juga, sebuah arus maha dahsyat membuat semua terhempas. Pegangan tanganku dan Nadia terlepas. Semua benar-benar terjadi begitu cepat dan dramatis! Ratusan bahkan ribuan manusia tersapu dalam sebuah gelombang pekat mendidih. Menerjang apapun yang menghadang. Mataku masih sempat melihat begitu banyak tangan menggapai-gapai untuk memohon pertolongan. Kepala mereka timbul-tenggelam mengais sisa nafas terakhir sambil menyebut nama Tuhan. Dan, begitu pun kondisiku... Berkali-kali aku tertelan air pekat yang terasa membakar tubuhku. Nafasku tinggal satu-satu. Oh, aku hampir tak punya daya sama sekali... YA ALLAH.... apakah ini SAKRATUL MAUT-ku??!!

Sesaat kemudian, aku benar-benar tak mampu lagi bertarung dengan maut….. Aku pasrah.... Aku lelah... Aku tak kuasa lagi mempertahankan nyawa. Akhirnya, tubuhku pun tergelung ke dalam pusaran dunia kelam tanpa dasar… tanpa tepi… tanpa asa.....

***

(Bersambung)

*Catatan :

  • Cerbung ini disarikan dari kisah beberapa sahabatku (nama disamarkan) yang telah banyak dimodifikasi tanpa menganggu alur cerita yang sebenarnya...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun