..............................................................................
....................................................................................
Sebait kosong itu yang hingga kini tak mampu diingat Pian terlebih untuk menuliskannya. “Assalatu Khairumminannaum,” Muadzin sudah mengumandangkan adzan Subuh. Pian tersentak, teringat hanyalah Ashar kemarin dia masih Shalat usai pulang dari pustaka. “Ya Allah, “ Pian bergumam.
Hari berganti hari, Minggu pun berganti. Sudah sebulan, Pian belum mampu menemukan sebait puisinya yang hilang. Seingatnya bait terakhir itupun hanyalah rangaian kata-kata sederhana, namun tak kunjung jua bisa ditulisnya. Sebulan itu adalah waktu terberat untuk Pian. Selama itu juga dia stagnan dalam menulis.
Hingga dia memutuskan untuk pergi ke psikiater menceritakan apa yang terjadi pada dirinya.
Disebuah lokasi di pusat Kota Medan, disanalah ia berkonsultasi. Namun hanyalah saran diplomatis yang pada akhirnya dia terima. “Pacu semangat menulismu,bayangkan hal-hal lain yang dapat kamu tulis. Karena tiap tulisanmu bisa saja menjadi pencapaian terbaikmu,” kata psikiater pada Pian yang terus terngiang kata-kata itu. Namun tetap saja dia tak bisa menerimanya.
Tak tanggung, frustasinya Pian akan sebait puisi yang hilang itu semakin mendekatkannya pada yang kuasa. Shalat malam, dhuha dan shalat-shalat sunnah serta amalan-amalan terus dilakukannya. Hingga suatu hari usai shalat Maghrib Nazir Masjid Muhajirin dekat kosnya menghampirinya.
“Pian kapan kuliahnya selesai,” tanya Pak Nasib si Nazir Masjid.
Pian sudah dikenal lama dilingkunngan itu, maklum sudah memasuki tahun keenam dia ngekos disitu.
“Aaa, eeeee. Aduh pak gak tau ini pak,” Pian mencoba menjawab langsung dipotong Pak Nasib.
“Wah, kamu gak bisa seperti ini terus Pian, itu tanggung jawabmu pada orang tua harus sesegeranya kamu selesaikan.”