Mohon tunggu...
Fiksiana Community
Fiksiana Community Mohon Tunggu... Administrasi - Komunitas pecinta fiksi untuk belajar fiksi bersama dengan riang gembira

Komunitas Fiksiana adalah penyelenggara event menulis fiksi online yang diposting di Kompasiana. Group kami: https://www.facebook.com/groups/Fiksiana.Community/ |Fan Page: https://www.facebook.com/FiksianaCommunity/ |Instagram: @fiksiana_community (https://www.instagram.com/fiksiana_community/) |Twitter FC @Fiksiana1 (https://twitter.com/Fiksiana1)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Belajar Bareng] Teknik Menghidupkan Dialog

27 Februari 2016   16:48 Diperbarui: 27 Februari 2016   20:51 1552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Dia anakmu, Mas?" tanya Nawang pada Doni, lelaki berpeci yang berjalan dengan kaki diseret di sisinya. Mata perempuan 33 tahun itu tak lepas mengikuti sosok gadis kecil berjilbab ungu panjang yang melangkah riang, mendahului dengan kaki mungilnya yang lincah.

Doni mengikuti arah pandangan Nawang. Dia mengulum senyum menatap Zahra, putri kecilnya. Mati-matian Doni menahan butiran yang mulai menggenang pada kedua matanya. Rasanya baru kemarin lelaki gagah itu gemetar ketakutan di ruang bersalin, saat melihat tubuh mungil bayi Zahra kebiruan. Tak hanya itu, tangis pertamanya pun tanpa suara.

Doni lemas ketika dokter mengatakan kecil kemungkinan anaknya akan bertahan hidup. Terlalu banyak masalah sejak dari dalam kandungan. Tapi toh, itu sudah berlalu. Lihatlah, Zahra kini tumbuh sama normalnya seperti anak-anak lain. Sempat divonis tuna wicara, kini malah dianugerahi kecerewetan luar biasa. Sejak sebulan lalu, dia sudah merengek pada Doni minta dibelikan baju baru yang cantik untuk Salat Id perdananya.

"Dia anakmu, Mas?" Nawang mengulang pertanyaannya karena Doni tak kunjung menjawab. Namun Doni, pikirannya sudah melayang ke masa lalu tanpa bisa ia cegah.

***
Januari, 2016
Doni akhirnya menemukan gadis itu. Nawang, dia di sana. Termenung di bantaran kali, ditemani teriknya raja siang ibu kota. Beruntung, sebatang palem botol berdaun cukup lebar mampu menaunginya.

"Menyerahlah, Na," kata Doni. Suara tenornya tampak berhasil membuyarkan lamunan Nawang.


"Mas Doni?" Nawang benar-benar terkejut. Sudah hampir setengah tahun dia tak bertemu Doni. Bagaimana mungkin pemuda itu tahu keberadaannya?

Doni melangkah mendekat, lalu duduk tepat di sebelah Nawang. Nawang memerhatikan, ada yang aneh dengan cara berjalan Doni. Dia tampak tertatih, kaki kanannya seperti diseret.

"Oh ini," kata Doni begitu melihat tatapan 'kau-kenapa' Nawang pada kakinya. "Ikut operasi pekat bulan lalu. Bentrok dengan yang punya kafe, aku terkena peluru nyasar. Lumayan juga, kena syaraf."

Nawang mengangguk tanda mengerti. Matanya dilayangkan pada air kecokelatan di bawah sana, lalu mengalihkan pembicaraan. "Mau apa mencariku, Mas?"

"Bukankah sudah kubilang tadi? 'Menyerahlah, Na'. Kau sudah tidak bisa lari lagi," kata Doni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun