Mohon tunggu...
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama Mohon Tunggu... -

Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama (fikri)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mirip Catatan Pelesir, Namun Sebenarnya Ini Adalah

20 Juni 2014   03:29 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:03 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tadinya saya ingin menulis sedikit catatan pelesir bagaimana saya mendaki Tanjakan Cinta yang melegenda. Tapi rasanya itu tidak perlu. Lagipula setelah saya pikir-pikir, untuk apa saya bercerita tentang Tanjakan Cinta yang menurut saya lebih tepat disebut Tanjakan Peremuk Lutut? Untuk apa saya bercerita tentang mitos ‘Barangsiapa yang berpikir tentang seseorang yang ia cintai ketika mendaki Tanjakan Cinta, akan mendapatkannya asalkan tidak menoleh ke belakang’? Untuk apa saya bercerita tentang dengan perempuan di kepala saya kala itu, padahal ia tidak bakal membaca tulisan ini? Hahaha tidak, saat itu kepala saya penuh dengan rasa sakit di lutut. Untuk apa saya bercerita setelah mendaki Tanjakan Cinta saya bisa melihat ladang lavender berwarna ungu?

Tadinya saya ingin menulis sedikit catatan pelesir bagaimana saya kemping di Kalimati. Tapi rasanya itu tidak perlu. Lagipula setelah saya pikir-pikir, untuk apa saya bercerita tentang dinginnya Kalimati, begitu dinginnya hingga jaket, kaos kaki, dan sleeping bag tidak mampu meredam reaksi menggigil tubuh? Untuk apa saya bercerita kalau saya akhirnya bisa beol meski harus dipaksa, setelah 5 hari tidak ada panggilan alam tersebut? Untuk apa saya bercerita saya sudah menggali lubang, tapi ternyata lubang tersebut tidak cukup untuk menampung kotoran saya, hahaha? Untuk apa saya bercerita bahwa kami bisa-bisanya makan mpek-mpek di sana? Untuk apa saya bercerita kalau tugas saya selama di Semeru dalam menyiapkan makanan adalah mengupas bawang-bawangan? Untuk apa saya bercerita saya tidur dengan keadaan hidung penuh dengan upil yang coklat kehitaman dan lembek?

Tadinya saya ingin menulis sedikit catatan pelesir bagaimana saya bisa mencapai Mahameru, puncak tertinggi para dewa. Tapi rasanya itu tidak perlu. Lagipula setelah saya pikir-pikir, untuk apa saya bercerita tentang pukul dua dini hari saya harus tetap bergerak agar tidak kedinginan merangkak melewati lintasan pasir dan kerikil, serta batuan vulkanik, padahal saya bisa bersantai di rumah? Untuk apa saya bercerita tentang kerikil dan pasir yang menyelinap masuk ke dalam sepatu setiap tiga langkah? Untuk apa saya bercerita tentang Mahameru yang sebetulnya hanya terdiri atas hamparan bebatuan dan tiang dengan bendera merah putih yang sudah lusuh, tapi mampu memikat jutaan manusia bersusah payah untuk berfoto? Untuk apa saya bercerita saya bisa melihat pantai utara dan pantai selatan Jawa dari sana? Untuk apa saya bercerita bahwa roti tawar tanpa olesan dan isi apapun terasa sangat enak setelah 8 jam mendaki? Untuk apa saya bercerita bahwa banyak orang yang berfoto dengan kostum aneh, dari toga hingga gaun pernikahan di puncak Mahameru?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun