Mohon tunggu...
Fidele Kurniawan
Fidele Kurniawan Mohon Tunggu... Murid

Saya adalah murid yang menerima tantang dari guru B.I saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Cerita Kita 8

15 Oktober 2025   18:54 Diperbarui: 15 Oktober 2025   18:54 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pin.it/2Fhdk8MAh

Hari demi hari berjalan seperti sisa-sisa waktu yang ingin dipeluk erat, tapi terus terlepas.

Ria tahu Ethan sedang bertarung. Tapi dia juga tahu, itu pertarungan yang sunyi. Ethan tidak banyak bicara lagi. Senyumnya makin jarang. Tatapannya mulai kosong, meski terkadang masih ada cahaya kecil yang menyala jika melihat Ria datang membawa dua kopi dan senyum yang ia paksa tiap pagi.

Di kantor, mereka seperti orbit yang terus saling mendekat, tapi tak pernah bertabrakan. Tidak pacaran, tidak jadian, tidak saling bilang "sayang". Tapi semua orang tahu. Termasuk mereka berdua.

Di ruang rapat kosong, Ethan pernah berkata pelan, "Lu inget nggak, waktu SMA kita pernah kerja kelompok bareng, dan gue selalu ngilang?"

Ria tertawa lirih. "Inget. Gue sebel banget waktu itu."

Ethan tersenyum kecil. "Maaf ya... gue bahkan waktu itu udah tahu, gue nggak bisa kasih siapa-siapa alasan buat bertahan sama gue."

Ria menatap matanya dalam-dalam. "Tapi sekarang gue nggak pergi."

"Lu belum pergi," jawab Ethan. "Tapi gue yang mungkin bakal pergi duluan."

Dan kalimat itu... tidak pernah benar-benar pergi dari kepala Ria.

Beberapa minggu kemudian.

Ethan tidak masuk kantor.

Hari pertama, Ria menunggu kabar.

Hari kedua, dia mulai resah. Tidak ada jawaban dari pesan atau telepon.

Hari ketiga, email dari HRD masuk ke seluruh karyawan: Pak Ethan akan cuti sementara waktu karena alasan kesehatan. Untuk urusan visual design, sementara didelegasikan ke tim desain utama.

Ria merasa dadanya tenggelam.

Sore itu, ia pergi ke alamat Ethan. Rumah kecil yang pernah ia lihat dari story IG teman kantor, saat farewell party dulu. Rumah itu sepi. Tirai tertutup.

Ria berdiri cukup lama di depan pintu. Lalu perlahan, ia mengetuk.

Seseorang membukakan pintu. Perempuan. Rambutnya pendek. Matanya sembab. "Kamu Ria ya?"

Ria mengangguk, bingung.

"Aku adiknya Ethan. Kakak di rumah sakit sekarang. Tumornya membesar... dan beberapa hari ini mulai memengaruhi ingatan. Dia... kadang nggak inget siapa-siapa."

Dunia Ria runtuh pelan-pelan.

"Apa aku bisa ketemu dia?" bisiknya.

Perempuan itu mengangguk.

Ruang rumah sakit itu sunyi.

Hanya suara alat monitor jantung dan suara infus yang menetes pelan. Ethan terbaring di ranjang, mata terpejam. Lebih pucat dari terakhir Ria lihat. Rambutnya sudah dipotong pendek.

Ria duduk di kursi sebelahnya. Pelan, ia meraih tangan Ethan yang dingin.
"Hei," bisiknya. "Ini gue, Ria."

Mata Ethan terbuka perlahan. Butuh beberapa detik sebelum ia fokus.
"Ria..." suaranya parau.

Ria mengangguk, menahan tangis.

"Maaf ya. Gue nggak bisa... gambar lagi," gumam Ethan, sambil melirik ke sudut ruangan kosong.
Ria menggenggam tangannya lebih erat. "Gak apa-apa. Lu udah ninggalin cukup banyak gambar buat gue."

Hening.

"Gue pengen bilang sesuatu, Tan..."

"Hm?"

Tapi Ria tidak jadi bicara. Kata "sayang" menggantung di kerongkongan. Terlalu berat untuk keluar, tapi terlalu menyakitkan untuk terus dipendam.

Akhirnya, ia hanya berkata, "Gue di sini. Gak ke mana-mana."

Dan Ethan tersenyum. Lelah.
"Gue seneng... lu pernah jadi bagian dari waktu gue."

Lalu matanya terpejam lagi.

Dan dalam diamnya, Ria tahu... mungkin itulah ucapan selamat tinggal paling halus yang pernah ia terima.

Beberapa bulan kemudian.

Ethan pergi. Di hari hujan.

Tidak banyak orang di pemakamannya. Ria berdiri paling belakang, memeluk lengan bajunya sendiri. Tak ada air mata yang jatuh hari itu. Hanya angin dingin, dan dada yang terasa kosong.

Natalie dan Nami menemani. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang berani menyentuh bahunya. Seolah tahu, luka yang seperti ini... tidak bisa dibagi.

Setelah semua selesai, Ria berjalan ke ruang kerjanya di kantor. Meja Ethan sudah kosong. Tapi ada satu hal yang tertinggal... sebuah buku gambar berwarna hitam, dengan sticky note kecil di halaman pertama:

"Untuk Ria.
Jangan berhenti gambar. Karena lu ngisi warna di hidup gue, waktu gue udah gak bisa ngelihat terang lagi."

Tangis yang Ria tahan selama ini pecah. Tangannya gemetar membuka halaman-halaman di dalamnya.

Ada gambar dirinya. Dari segala sudut. Saat tertawa. Saat melamun. Saat tidur di ruang kerja dengan postur konyol.
Dan di halaman terakhir- sebuah pemandangan pegunungan, dengan sosok perempuan berdiri sendiri di bawah langit mendung. Di bawahnya tertulis:

"Lu adalah tempat yang nggak pernah bisa gue datangi, tapi selalu gue lihat dari jauh. Dan itu cukup."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun